Rabu, 29 Juli 2009

Bali Travel Report 2009


Kalau dipikir, saya kemarin sungguh beruntung. Saya mendapat kesempatan mengunjungi Pulau Bali selama 6 hari. Ini semua berawal dari kakak saya, Mas Ayos, yang melakukan kerja praktek di daerah Sayan, Ubud. Keberuntungan saya semakin bertambah ketika ia mendapatkan kos di dekat tempat kerjanya, sehingga saya bisa menggunakan sepeda motor yang mempermudah saya mengeksplor Bali.

Dari enam hari tersebut, saya berusaha menjangkau sejumlah tempat yang mungkin dan ingin saya jangkau. Syukurlah, sejumlah tempat berhasil saya datangi. Dari sana saya mendapatkan berbagai cerita yang telah saya share melalui kotakcoklat89 ini.

Pengalaman saya secara runtut saya tulis dalam paket Bali Travel Report 2009 ini. Adapaun isinya adalah sebagai berikut:

• Hari 1: Kembali ke Bali
• Hari 2: Sudut Sudut Ubud
• Hari 3: Batur Bertutur
• Hari 3: Anti Boring di Tampaksiring
• Hari 4: Satu Waktu di Uluwatu
• Hari 5: Gajah Punya Goa, Monyet Punya Hutan
• Hari 5: Berburu Senja Di Tanah Lot
• Hari 6: The Last Day in A Wrong Way

Saya berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi teman-teman. Jika dalam tulisan saya terdapat kesalahan, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Sangat terbuka terhadap saran dan kritik teman-teman.

Terima kasih,
Kotakcoklat89.blogspot.com

Senin, 27 Juli 2009

The Last Day in A Wrong Way

Text and Photo: Navan Satriaji
____________________________________________________________________

Saya marah sama kakak saya. Dia telah membuat postingan baru di blognya. Dengan tampilan foto yang lebih ciamik, pula. Saya malas kalau nantinya ada double posting, jadinya postingan kali ini saya buat sederhana saja, yang nantinya akan saya tambahi link yang terkait dengan blog kakak saya, okeh? (sebenarnya ini hanya alasan saya yang sedang jenuh membuat postingan tentang Bali. Oportunis sekali! Hehehe...)

Ini hari keenam di Bali dan ini menjadi hari terakhir saya sebagai kesempatan menjelajahi Bali. Ada satu tempat yang masih membuat saya penasaran untuk mengunjunginya. Tempat itu tak lain dan tak bukan adalah Bedugul. Ah, saya begitu ngidam lihat pura yang ada di tengah danau yang biasa ada di majalah atau internet. Dan saya seharusnya bisa melihatnya di Bedugul.
Ok, saya dan kakak saya telah sepakat, tujuan kami kali ini adalah Bedugul. Dengan keyakinan bahwa Bedugul berada di sebelah utara Ubud dan belok ke Barat sedikit, kami pun segera berangkat. Dan tidak membawa peta adalah kesalahan fatal yang nantinya akan mempengaruhi perjalanan kami...

***

Sepanjang perjalanan ke arah utara saya berharap melihat papan jalan yang menunjuk ke arah barat dan bertuliskan Bedugul. Tapi ternyata tanda tersebut tak kunjung muncul dan kami tahu-tahu telah sampai di Kintamani. Waks! Itu berarti beberapa puluh kilometer di timur Bedugul.

Nyasar? Ya! Nyesel? Nggak. Kakak saya langsung mengusulkan untuk menikmati kopi sejenak di Kintamani. Asal tahu saja, kami mengincar kopi Kintamani yang katanya rasanya cukup khas itu. Saya baru sadar, warung kopi adalah singgahan wajib kalau kita berjalan-jalan. Selain menikmati kopi Kintamani, dari warung kopi tersebut kami sempat mengobrol dengan penduduk setempat, dan kami banyak mendapatkan informasi yang tidak penting tapi mengasyikkan. Mulai dari asal usul kota kintamani yang berasal dari “cinta money” (wakakak!), informasi pemukiman jawa-madura, hingga anjing Kintamani yang ekornya sangat khas.


Kopi Kintamani seribu rupiah.

Anjing Kintamani

Di Kintamani kami sempat berhenti di salah satu masjid. Namanya masjid Al Muhajirin. Masjid tersebut memiliki keunikan tersendiri, karena diapit oleh perkampungan jawa dan madura. Saat tiba di sana, kakak saya ingin buang air kecil. Tapi apa daya pintu masjidnya terkunci. Akhirnya setelah berkenalan dengan salah seorang penduduk, kakak saya turun menuju perkampungan Madura untuk buang air sekaligus mengorek informasi soal perkampungan tersebut.

Bagaimana dengan saya? Sambil menunggu kakak saya, saya diizinkan untuk masuk masjid Al Muhajirin yang terkunci dengan cara melompati pagar. Saat masuk ke dalamnya, wow, nampak sederhana, tapi ruang di belakang yang menghadap timur terpasang jendela lebar yang bisa melihat pemandangan danau dan gunung Batur. Masjid yang sederhana namun sangat asyik. Kalau masjidnya seperti ini, saya pasti langsung jadi lebih rajin beribadah, hehehe...


Masjid Al Muhajirin, Kintamani

Gunung Batur yang dilihat dari dalam masjid

Reportase kakak saya mengenai Kintamani dapat dilihat di sini


***

Menurut informasi, jika ingin ke Bedugul kita bisa ke arah selatan melewati jembatan Tukad Bangkung. Tapi lagi-lagi kami menemukan sejumlah hambatan, tetapi hambatan yang mengasyikkan.

Kami sempat tertarik terhadap sebuah pura yang tak terawat. Adapun fakta dari pura yang nampak tak terawat itu cukup unik. Jika ada penduduk sekitar ada yang meninggal, maka sebuah pantangan bagi penduduk untuk mengunjungi pura tersebut selama sekitar satu bulan. Anehnya, penduduk meninggal secara beruntun dan bergantian, mungkin karena banyak penduduk usia tua. Sehingga pantangan untuk mengunjungi pura pun semakin lama, dan jadilah puranya tak terawat.

Mampir ke pura yang tak terawat

Hambatan lainnya, dalam perjalanan kami melihat sebuah sasana tinju bernama Cakti Bali. Dan ternyata kami menemui seorang petinju. Kakak saya yang pernah melihat sebuah pertandingan tinju segera mengenalinya. Namanya Jack Timor. Sementara saya yang tidak suka tinju tidak tahu apa-apa. Di sasana tersebut kakak saya mewawancarai habis-habisan Jack Timor. Sementara bang Jack sendiri tidak keberatan. Dengan lancar ia menceritakan kisah hidupnya yang memberikan sejumlah inspirasi bagi saya. Ia baru 19 tahun, tapi telah menempuh sejumlah perjuangan. Bagaimana dengan saya, yang juga berumur sama? Tidur, yuuukkk... hehehe...

Mas Ayos vs. Jack Timor

Menurut informasi dari Jack, Jembatan Tukad Bangkung yang kami cari tak jauh lagi. Bahkan dari sasana Cakti Bali pun sudah terlihat jembatan tersebut. Langsung saja saya dan kakak melaju ke Jembatan Tukad Bangkung. Jembatan Tukad Bangkung ini memiliki tinggi 71 meter dengan 41 meter pondasi dalam tanahnya. Konon jembatan ini merupakan jembatan tertinggi di Asia Tenggara.

Surabaya punya Suramadu. Bali punya Tukad Bangkung. Konon tertinggi di Asia Tenggara.

Sementara reportase mengenai Jack Timor hingga Jembatan Tukad Bangkung dapat dilihat dalam blog kakak saya.

***


Lagi-lagi dalam perjalanan kami mendapat informasi mengenai sebuah air terjun bernama air terjun Nungnung. Menurut informasi yang kami peroleh, air terjun ini masih berada dalam lingkungan yang cukup asri, dan belum terlalu banyak dipadati oleh pengunjung.

Tak butuh waktu lama untuk menemukan air terjun Nungnung dari Jembatan Tukad Bangkung. Kalau di blog kakak saya dibilang free entrance, maka salah besar. Karena sesungguhnya untuk masuk ke air terjun ini ada tiket masuknya, hanya saja kakak saya tanpa sadarnya nyelonong masuk. Hehehe...

Pertama kali dari pintu masuk kita langsung dihadapkan pada tangga turunan sepanjang kira-kira 500 anak tangga, lah! Tentu saja begitu sampai di bawah kaki saya langsung gemetaran cukup lama. Tapi tenang saja, usaha menuruni anak tangga tidak terbuang percuma, karena kita dihadapkan pada pemandangan yang sangat mengagumkan. Kakak saya malah dalam blognya menyebut Nungnung sebagai downstairs paradise. Cahaya yang menembus dari balik dedaunan. Air terjun yang cukup deras. Hawa yang sejuk. Suasana yang terbilang sepi. Perfect! Kecuali anak tangga yang bikin jantungan saat pulang. Huh!

Lelah mendaki

Air Terjun Nungnung

Air terjun Nungnung dalam blog kakak.

***

Jam menunjukkan pukul 3 sore. Saya harus segera ke terminal Ubung Denpasar, selain itu kakak saya ada tugas membuat proposal. Lantas bagaimana dengan Bedugul? Dengan berat hati saya mengatakan bahwa kami batal menuju ke sana karena keterbatasan waktu. Waks.

Saya pun telah mendapatkan bis menuju Jember. Dengan berat hati saya mengakhiri perjalanan saya di Bali. Entah kapan lagi saya bisa ke pulau ini. Goodbye, Bali...

Selasa, 21 Juli 2009

Berburu Senja di Tanah Lot

Text & Photo: Nafan Satriaji

____________________________________________________________________

Sekarang hari Sabtu. Kakak saya pulang kerja lebih awal. Jika dari kemarin saya berjalan-jalan sendiri, maka hari ini saya akan pergi dengan kakak saya ke suatu tempat: Tanah Lot! Yeah, lima hari di Bali, saya belum ke daerah pantai selain Jimbaran. Jika sejumlah pantai umum seperti Kuta dan Sanur saya tidak terlalu suka, maka lain halnya dengan Tanah Lot. Sekalipun ramai, saya selalu suka tempat ini karena masih terdapat unsur budaya balinya yang diperlihatkan lewat Pura Tanah Lot.

Tujuan saya dengan kakak saya di Tanah Lot tak lain dan tak bukan adalah... berburu foto sunset! Jadi jangan heran, ya kalau di postingan ini tulisannya tidak terlalu banyak, tapi malah dipenuhi foto-foto berwarna jingga. Kakak saya pun bersenjatakan Canon barunya, sedangkan senjata saya adalah Lumix warisan kakak saya. Dan perburuan pun... dimulai!

***

Ah, iya. Satu obsesi saya mengambil foto di Tanah Lot adalah mengambil siluet Pura Tanah Lot. Kalau kamu masuk dari pintu umum memang cukup ramai. Tapi kalau kamu belok kiri ke arah timur, di sana tidak terlalu ramai dan kamu bisa mengambil gambar siluet Pura Tanah Lot.
Saya? Oh tentu saja saya langsung lari ke arah timur sejauh-jauhnya sebelum matahari tenggelam. Dan... yeah! Siluet Tanah Lot yang saya idamkan pun akhirnya terwujud. Wa... saya langsung mengambil gambar sebanyak mungkin.








Nah, saat sedang asyik-asyiknya mengambil gambar, saya melihat seorang bule nampak serius melakukan pengambilan gambar Pura Tanah Lot. Iseng-iseng saya memotret dari belakang. Not bad, lah! Foto terbaik saya, malah!

Foto terbaik yang pernah saya ambil. Waa... saya memotret fotografer National Geographic!

Pas dia sedang membalikkan badan sambil mengambil beberapa peralatannya, saya iseng menghampiri. Lagi-lagi dengan sok akrab dan bahasa inggris yang maksa, saya bertanya:

Navan: Kamu fotografer? (kalo saya nulis pake bahasa Inggris, nanti ketahuan gobloknya. Jadi saya terjemahkan, hehehe...)

Si Bule: Ya.

Navan: Perkenalkan, saya Navan. Siapa namamu?

Si Bule: Saya Steve.

Navan: Kalau boleh saya tahu, kamu bekerja untuk apa?

Steve: National Geographic.

Navan (dalam hati) : Whattt!!! Saya lihat langsung fotografer NG sedang bekerja! Bahkan saya memotretnya. Sumpah, saya langsung nangis darah. Serasa ketemu Fitri Tropica! Ya Alloh, memang ada apa, sih sama fotografer NG? Perasaan selama ini saya nggak ngefans sama fotografer NG? argh, ternyata saya memang lebay!

Navan: Wow! Bolehkah saya memotret anda? (ngapain juga, ya?)

Steve: oh, boleh. Tapi cepat, ya! Soalnya mataharinya sudah mau terbenam.

Navan: Ok!

Saya langsung memotret Steve, tanpa tahu mengapa. Lantas saya perlahan-lahan menjauh darinya. Tidak mau mengganggu kerjanya. Saya pergi dengan langkah lemas. Karena saya merasa saya telah mendapatkan foto terbaik saya hari ini...

Steve. Mengakunya, sih, fotografer National Geographic.

***

Besok hari terakhir saya di Bali. Rencananya, sih mau ke Bedugul sama kakak. Penasaran sama pura di tengah danau yang biasa ada di foto-foto. Setelahnya jam 3 sore saya harus ke Denpasar, ke terminal Ubung untuk mencari bis ke arah Jember. Waa...

Gajah Punya Goa, Monyet Punya Hutan

Text & Photo: Navan Satriaji

____________________________________________________________________

Jika pada hari ke lima di Bali ini saya pergi ke Bird Park, seharusnya judulnya bisa seperti ini: Burung, Gajah, dan Monyet. Tapi sayang, judul tersebut tidak akan pernah dipakai, karena saat saya ke Bird Park pukul 9 pagi, saya harus merogoh kocek sebesar 75 ribu rupiah untuk masuk. Selain saat itu saya tidak membawa uang cukup, bagi orang seperti saya pasti uang sebesar itu akan saya belikan buat jajan hahaha...

Baiklah, burung telah dicoret. Maka siang ini saya hanya pergi ke Goa Gajah dan Monkey Forest. Keduanya masih di daerah Ubud. Tapi sayang, perjalanan kali ini dinodai dengan kesalahan setting kamera yang saya tidak terlalu tahu cara memperbaikinya. Jadilah sejumlah foto terlihat kurang apik. Tak apa, ya...

***

Seperti biasa, Pura Goa Gajah termasuk tempat suci, sehingga saya yang sedang memakai celana pendek harus memasang sarong dan selendang. Harga tiket tidak jauh berbeda dengan tempat lain, yaitu 6 ribu rupiah. Begitu menuruni tangga masuk, kita langsung dihadapkan pada pemandangan kompleks Goa Gajah.

Kompleks Goa Gajah

Di dalam kompleks ini terdapat kolam dan pancuran air suci seperti yang saya temui di Pura Tirta Empul. Selain itu, dapat ditemui goa kecil tempat bersemedi. Dari pintu masuk ruangan goa tersebut akan membentuk huruf T. Cukup gelap, namun dibantu dengan sejumlah lampu yang tidak terlalu terang.

Lebih jauh lagi, di sisi belakang kompleks Pura Goa Gajah terdapat sungai kecil dengan suasana yang sejuk dan rindang. Ada reruntuhan candi yang sudah tidak berbentuk lagi. Sisanya sebuah pura kecil di belakang, ada juga kolam teratai.

Air Mancur Suci

Tempat Semedi

***

Setelah berkeliling di Goa Gajah, saya masih punya waktu sekitar 2 jam sebelum harus kembali ke Ubud pukul satu siang. Maka pilihan saya menghabiskan waktu tersebut adalah ke Ubud Monkey Forest. Yang letaknya tak jauh dari pusat kecamatan Ubud.

7 tahun yang lalu saya pernah ke monkey forest, tapi di daerah Sangeh. Katanya di Bali bisa banyak ditemui monkey forest, tidak hanya di Sangeh dan Ubud. Dengan sedikit ingatan, saya akan mencoba membandingkan Sangeh dengan Ubud Monkey Forest.

Setelah membayar tiket masuk seharga 15 ribu rupiah, saya langsung dihadapkan ke sebuah hutan yang sangat lebat. Monyet-monyet berkeliaran di sana-sini. Nampak sejumlah pedagang pisang menjajakan pisang untuk makanan monyet. Saya sempat menguping seorang bule yang sedang membeli pisang. Ternyata harga satu sisir (sekitar 8 buah ukuran kecil) seharga 20 ribu rupiah. Waks!


Minum dulu...

Pura kecil untuk monyet yang meninggal

Minum susu mama...

Selain hutan yang luas, serta monyet-monyet liar yang berkeliaran. Di sini dapat ditemui sebuah kolam kecil tempat minum monyet. Pura kecil dan kuburan untuk monyet yang meninggal. Di dalam kompleks Ubud Monkey Forest ini juga terdapat Pura Dalem Agung, Pura Pemandian Suci, kolam kecil, dan sungai kecil tempat air suci.

Mencuri sesajen

Pura Dalem Agung

Kolam suci

Tidur massal

Entah mengapa, yang paling mengasyikkan adalah ketika memotret berbagai ekspresi para monyet. Kalau saya sedikit mengingat Sangeh Monkey Forest dan membandingkannya, maka menurut saya lebih seru di Ubud Monkey Forest.

***

Nenek-nenek dari Amerika. Lonely Traveler. Sayangnya tidak sempat menanyakan nama...

Ah, iya. Ketika saya meninggalkan Ubud Monkey Forest pada pukul 12.30, saya sempat mengingat pertemuan saya dengan salah satu turis di Ubud Monkey Forest. Dia seorang nenek. Dan entah kenapa dia lagi iseng mengambil satu bunga dari sebuah sesajen. Saat dia sadar, dia langsung tersenyum ke saya. Saya membalas dengan tersenyum dan segera sok akrab dengan bahasa inggris yang kacau.

Dari percakapan singkat itu saya baru tahu kalau si nenek berasal dari USA, dan dia ke Bali sendirian! (lonely traveler, dong!). Dan saat saya bertemu dengannya, dia tidak sedang bersama guide. Wah, boleh juga, tuh! Nenek-nenek yang sedang menghabiskan masa tuanya sendirian di Bali. Tapi sayangnya, saya belum sempat berkenalan dengannya. Saya tak tahu nama si nenek itu...

Satu hal yang paling saya ingat, ketika saya memberitahukan kalau saya orang Indonesia, si nenek berkata:

Oh, Your country is beautiful!

Waa... semangat nasionalisme saya langsung muncul. Saya tak menyangka di tengah kerumunan monyet-monyet saya bisa menumbuhkan rasa nasionalisme saya lewat seorang nenek, hahaha... saya pun melanjutkan pulang sambil menunggu rencana selanjutnya ke Tanah Lot bareng kakak.

Senin, 20 Juli 2009

Satu Waktu di Uluwatu


Text & Photo: Navan Satriaji

____________________________________________________________________________

Hari keempat di Bali saya sudah tahu mau ke mana dengan sepeda motor kakak saya. Yup! Ke daerah selatan! Pertimbangannya yang pertama, kemarin saya sudah ke utara. Yang kedua, hari ini saya harus sholat Jum’at, dan mencari masjid di daerah selatan Bali jauh lebih mudah daripada di utara Bali.

Tapi kalau selatan ke mana? Jujur, kalau ke Kuta atau Sanur sebelumnya saya sudah pernah ke sana, dan tidak terlalu suka. Apalagi perjalanan saya siang hari, bukan saat sunrise atau sunset. Apa jadinya kalau saya ke pantai siang bolong?

Tapi saya akhirnya memutuskan untuk menuju ke daerah Jimbaran dan Uluwatu. Saya belum pernah ke pantai Jimbaran, sedangkan di Uluwatu saya sudah pernah ke Garuda Wisnu Kencana (GWK) dan saya mau kembali ke sana lagi.

***

Saya benci Denpasar. Bukan apa-apa, buat saya Denpasar tak ada bedanya dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Denpasar tak lebih seperti kota metropolitan lainnya. Jalan yang sangat rumit, lalu lintas yang tidak nyaman, dan sebagainya. Yang membedakan dengan kota besar lain adalah Denpasar berada di Bali. Itu saja.

Ketika berada di tengah kesibukan Jalan antara Denpasar dengan Jimbaran, iseng-iseng saya mampir ke sebuah pura yang berada 600 meter dari sejumlah hutan bakau. Selain sebuah pura, saya juga melihat sebuah vihara bergaya etnik bali. Berikut foto-fotonya:




Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya saya sampai ke pantai Jimbaran. Bagi saya, pantai Jimbaran terkesan biasa saja. Sebuah pantai dengan banyak cafe di pinggirannya. Tak jauh beda dengan Kuta, karena memang masih berada dalam satu garis pantai dengan Kuta. Tapi yang menarik adalah ketika saya melewati jalanan resort-resort di daerah Jimbaran. Entah mengapa suasananya sangat nyaman. Salah satu resort terkenal yang saya lihat adalah Four Season Resort. Sayangnya saya tak sempat mengambil gambarnya.

Pantai Jimbaran di siang bolong

Saya tidak terlalu tahu tempat menarik lagi di daerah Jimbaran dan Uluwatu selain Garuda Wisnu Kencana. Jadilah saya hanya mengeksplor Taman Garuda Wisnu Kencana saja.

Garuda Wisnu Kencana yang saya kunjungi masih sama seperti 7 tahun lalu. Patung Wisnu raksasa yang ‘masih’ setengah badan. Dan patung Garuda yang juga ‘masih’ kepalanya saja. Tapi tetap saja, posisi Garuda Wisnu Kencana yang terletak di atas bukit kapur Ungasan ini tetap memiliki lanskap yang sangat menawan. Dari kompleks Garuda Wisnu Kencana ini saya bisa melihat dua pantai, Kuta dan Sanur sekaligus.

Yang membuat berbeda antara lain tangan Wisnu yang sudah jadi, tapi belum terpasang, serta dibukanya sejumlah permainan di dinding kapur seperti flying fox atau panjat tebing untuk anak-anak.

Patung Wisnu yang penuh ketenangan

Kepala Garuda

Memanjat tebing bersama papa

Patung Perdamaian

Lorong dinding-dinding kapur

Lotus Pond

Harga tiket masuk ke Garuda Wisnu Kencana adalah 20.000 rupiah. Bagi yang merasa cukup mahal terhadap harga tiket tersebut, jangan berkecil hati dulu, karena selain melihat taman Garuda Wisnu Kencana yang cukup apik, kita juga disuguhi fasilitas seperti pemutaran film dokumenter, melihat pembuatan karikatur, pembuatan batik Bali, atau melihat proses pembuatan kerajinan perak. Kalau beruntung, pada waktu tertentu diputar pertunjukan kesenian Bali. Atau terkadang ada Barong yang bisa dipakai buat teman foto. Semuanya gratis! Jangan lupa mengunjungi Museum Garuda Wisnu Kencana atau Museum Kesenian yang terdapat di dalamnya.

Bertemu Barongan. Horee...

Sudut Museum Garuda Wisnu Kencana

Rancangan utuh Garuda Wisnu Kencana

***

Perjalanan ke Uluwatu yang jauh namun sangat singkat ini, berhasil membuat satu waktu saya menjadi semakin berkesan. Saya juga masih berharap, semoga Garuda Wisnu Kencana benar-benar bisa terwujud utuh, tidak terlantar seperti yang saat ini terlihat. Karena Garuda Wisnu Kencana sangat potensial untuk berpengaruh dalam dunia pariwisata Indonesia. Tentu saja hal ini hanya bisa dilakukan dengan kerjasama penuh anatara pemerintah dan masyarakat sebagai komponen utuh bangsa Indonesia.

Ah, iya. Ketika perjalanan pulang saya melihat ada penunjuk ke arah kanan bertuliskan “Pura Luhur Uluwatu”. Sepertinya saya penasaran. Tapi waktu telah menunjukkan semakin sore, dan saya harus mengambil paket kakak saya di Denpasar, lalu kembali ke Ubud. Fuh...


Selasa, 14 Juli 2009

Anti Boring di Tampaksiring


Photo & Text: Navan Satriaji

_________________________________________________________________________________________________________________

Sepulang dari Danau Batur, saya segera menuju ke selatan. Menuju Tampaksiring. Entah mengapa sejak semalam saya merasa terpanggil untuk menuju ke sana. Menurut Bli Wayan, guide yang menemani saya di Museum Gunung Api Batur, katanya di Tampaksiring ada sebuah tempat bernama Tirta Empul yang cukup menarik untuk dikunjungi. Sedangkan menurut seorang penduduk desa bernama Pak Nyoman yang saya temui tadi pagi, di daerah Tampaksiring ada pura GunungKawi yang menawan. Siip lah! Sekarang tinggal bagaimana saya menemukan keduanya.

***

Ada satu ruas jalan raya Tampaksiring yang menghubungkan antara Danau Batur dengan Ubud. Sehingga saat perjalanan menuju Tampaksiring saya cukup mengikuti jalur tersebut saya. Awalnya saya menduga harus banyak bertanya untuk menemukan lokasi Tirta Empul. Tapi ternyata saya salah, saat melaju melewati Jalan Raya Tampaksiring, saya melihat sebuah pertigaan dengan petunjuk Tirta Empul ke arah kanan. Tanpa ragu, saya segera ke sana.

Memasuki Tirta Empul saya langsung disambut dengan suasana penuh kesejukan. Di sisi kanan saya menjulang sebuah bukit dengan Istana Kepresidenan di atasnya. Sayang, saya tidak sempat mengunjunginya karena hanya dibuka dalam waktu tertentu saja. Saya masuk lewat jalan atas. Entah mengapa sepertinya kalau lewat jalan bawah dikenakan karcis. Sedangkan saya dapat gratis, hehehe...


Kesejukan Tirta Empul diperlihatkan dari kolam ikan yang menyambut kita di awal pintu masuk. Jika kita meneruskan ke dalam komplek, kita dapat melihat sebuah kolam dengan sejumlah pancuran. Beberapa orang dangan pakaian adatnya merendamkan dirinya ke dalam kolam tersebut. Sesaat mereka terlihat mengucapkan doa. Lantas mereka menyiramkan diri dengan kolam pancuran yang ada.

Saya sempat berkenalan dengan seorang bapak-bapak, namanya Pak Wayan. Ia mengaku sering mendatangi Tirta Empul. Ia sendiri berasal dari Desa Tegallalang, desa yang tak jauh dari Tampaksiring. Katanya, setiap pancuran memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang merupakan air pembersihan diri, air penyembuhan, air penyembuhan penyakit berat, dan sebagainya. Tentu saja itu berdasarkan kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya.



Para pengunjung juga diperkenankan memasuki pura yang terdapat di komplek Tirta Empul. Karena merupakan tempat suci, maka kita diharuskan memakai selendang atau sarung yang telah disediakan. Di dalam pura, kita dapat melihat sejumlah bale atau tempat-tempat sembahyang. Banyak juga ditemui beberapa masyarakat Bali yang sedang bersembahyang di sana.



Di dalam kompleks pura Tirta Empul juga dapat ditemui sebuah mata air sumber kolam pancuran yang saya temui tadi. Konon nama Tirta Empul berasal dari mata air ini yang berarti Air (Tirta) yang meluap-luap (Empul).


***

Selesai mengeksplorasi Tirta Empul dengan asyiknya, serta melewati Istana Tampaksiring tanpa mengunjunginya sama sekali, saya merasa perjalanan kali ini cukup sampai di sini. Saya pun berniat kembali ke Ubud lewat Jalan Raya Tampaksiring ini.

Tak disangka, saat melakukan perjalanan ke Ubud, saya melihat sebuah penunjuk dari batu yang bertuliskan Pura Gunung Kawi dengan arah ke kanan. Wew, tanpa basa-basi saya langsung belok mendadak ke kanan. Saya merasa sungguh beruntung, sebab batu penunjuk itu cukup kecil dan tersamar, sehingga bisa saja saya melewatinya. Saya jadi teringat kata-kata Pak Nyoman yang saya temui tadi pagi. Katanya Pura Gunung Kawi cukup menawan. Bolehlah!

Lagi-lagi saya berhasil menerobos loket masuk dengan santai. Mungkin karena sudah jam setengah tiga sore, dan loket tutup jam empat, sehingga dengan mudahnya saya menyelonong masuk, hehehe...

Karena tempat suci, lagi-lagi saya diharuskan memakai selendang untuk bisa masuk ke kompleks Gunung Kawi. Setelah memakai selendang, saya langsung menuruni tangga yang cukup panjang, dan melewati sejumlah pedagang souvenir yang ada.

Tapi semakin menuruni tangga, saya semakin berdebar-debar. Sebab secara samar-samar pemandangan sawah pedesaan bermunculan. Dan ketika melihat kompleks pura Gunung Kawi terliat di bawah dengan dikelilingi undakan persawahan, sungai kecil, dan pohon kelapa di depannya, saya langsung nangis darah, waaa... pemandangan seperti inilah yang saya inginkan ketika mengunjungi Bali!


Setelah melewati gerbang batu, di sisi kiri jalan kita langsung disambut dengan pahatan batu berupa candi sebanyak empat lubang. Sedangkan di sisi belakang kompleks pura kita bisa melihat pahatan batu candi sebanyak lima lubang. Gunung Kawi sendiri secara etimologi berarti pegunungan (Gunung) yang dipahat (Kawi). Entah mengapa, melihat pahatan batu ini mengingatkan saya pada pahatan kota batu Petra di Jordania. Sangat mengesankan!



Kompleks Gunung Kawi ini termasuk warisan budaya yang cukup tua di Bali. Di tempat ini sering dijadikan tempat untuk semedi. Hal ini dapat dilihat melalui sejumlah ruang yang biasa disebut sebagai ruang semedi. Menurut penjaga yang saya temui, saya diperbolehkan masuk ke dalamnya dengan syarat saya harus melepas alas kaki saya.



***

Selesai dari Tampaksiring, saya harus menaiki 315 anak tangga yang tadinya turunan, dan kini menjadi tanjakan. Mampus, saya sangat kelelahan. Tapi entah mengapa, saya merasa puas. Sebab impian saya melihat sebuah tempat bernuansa Bali di tengah hamparan pemandangan indah telah terkabulkan di Tampaksiring.

Saya jadi berpikir, jika suatu saat saya berada di Bali dan dirundung kejenuhan, saya telah menemukan tempat yang pas untuk dikunjungi. Tempat yang sarat akan pemandangan untuk cuci mata, dengan hawa sejuk di badan, yang saya yakini akan mampu melepas kepenatan yang ada. Maka tempat itu adalah Tampaksiring.
____________________________________________________________________

Referensi: www.gianyartourism.com