Senin, 30 November 2009

Menunggu De Rahma

Ada yang tahu De Rahma? Yups, itu adalah salah satu tokoh acara komedi yang diperankan oleh komedian favorit saya, Fitri Tropika. De Rahma itu lebay. De Rahma selalu sukses membuat saya ngakak. Dan akhirnya, buat saya, De Rahma itu ngangenin. Dan saya selalu merindukan kehadiran De Rahma/Fitri Tropica. Saya juga sempet jejeritan dalam hati pas Fitri Tropika memperoleh penghargaan “Best Video Model” dalam salah satu ajang penghargaan musik kemaren atas performancenya dalam video klip Status Palsu-nya Vidi Aldiano. Waaa... Selamat, Fit!

De Rahma itu ngangenin, entah kenapa saya jadi ingin menamai Laptop saya dengan nama De Rahma. Ya... karena saya kangen sama Dell Inspiron 1420 saya yang sedang diperbaiki.

Bagi saya, menunggu De Rahma kembali dari servisnya terasa lama sekali. Saya pun hanya ditemani radio dari hape saya. Mau nonton televisi acaranya itu-itu saja. Jadilah saya mengambil alternatif kegiatan yang sudah lama saya tinggalkan. Membaca buku! Untungnya kakak saya beberapa waktu yang lalu mampir ke Jogja dan meninggalkan sejumlah buku. Jadilah saya punya teman baru.

Berikut buku-buku yang saya baca, diurutkan dari yang saya suka:

1. Bahasa! : Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo

Buku ini menjadi peringkat pertama buku yang saya sukai sambil menunggu De Rahma saya. Jujur saja, dulu saya cukup menggemari pelajaran Bahasa Indonesia. Entah mengapa saya tidak tahu. Mulai dari soal ejaan hingga soal kesusasteraan. Yang paling saya tidak bisa soal kesekertariatan (menulis surat, memo, dsb.)

Tapi setelah membaca buku ini, ternyata persoalan bahasa sangat menarik untuk dibahas. Bahkan sangat terkait dengan permasalahan sosial, budaya, dan negara. Entah itu soal imbuhan atau soal majas, semua disajikan secara “renyah” dalam buku ini.

Percayalah, Anda tidak akan bosan membaca bab demi bab dalam buku ini. Bahkan anda bisa mulai tersenyum pada saat membaca sejumlah judul, seperti: “Orang Pintar Minum Tolak Angin, Orang Malas Bikin Akronim” atau pada judul,” Secara Gue Gaul Gitu Loh”. Unik, bukan?

Lebih dari itu, selesai membaca buku ini saya merasa nasionalisme saya bertambah satu level. Karena saya mengambil kesimpulan bahwa melihat Bahasa sama maknanya dengan melihat Bangsa. Maka saya ambil kutipan favorit saya dalam buku ini:

“Seandainya Sumpah Pemuda terlambat diikrarkan delapan puluh tahun, kemungkinan besar yang tertulis bukan lagi: ‘Kami Putra dan Putri Indonesia...’ [melainkan] ‘Kita Putra dan Putri Indonesia...’ konsep ‘kita’ dan ‘kami’ adalah kekayaan bahasa Indonesia yang tidak dimiliki bahasa lain.
(“Kita Putra dan Putri Indonesia”,Qaris Tajudin)


2. The Journey: From Jakarta to Himalaya


Buku ini adalah salah satu buku favorit kakak saya dan teman kakak saya, Nuran. Dan tentu saja inilah salah satu yang menjadi motivasi mereka untuk melihat luasnya Indonesia (kakak saya belum ke luar Indonesia) melalui jalur Backpacker.

Membaca buku ini membuat kita merasa benar-benar menyusuri Malaysia, Thailand, Laos, Asia Selatan, hingga Himalaya. Apalagi sang penulis, Gola Gong, adalah seorang penulis dan wartawan. Jadi soal kedetilan reportasenya jangan ditanyakan lagi.

Dia menulis sangat subjektif. Dan itu sangat menarik. Karena kita sebagai pembaca merasakan langsung pengalamannya bertukar barang dengan biksu-biksu di Thailand, menginap dengan sebuah keluarga dari suku Ar-Kha di Hilltribe Village, hingga pengalaman buruknya dengan Holy Festival di India.

Tapi ternyata bagi saya buku ini berada di peringkat 2 setelah buku Bahasa! Alasannya sederhana, Gola Gong sangat suka sekali menyingkat-nyingkat kata (seperti Hilltribe Village dengan HV, atau Travel Agent dengan TA). Dan buat saya itu buruk dan sangat mengganggu kenyamanan membaca.

Teman saya, Kinkin, di blognya menulis: Nepal 2012. Setelah membaca buku ini saya jadi sedikit mengerti mengapa ia ingin sekali ke sana. Dan mungkin saya juga harus menuliskan hal yang sama: Nepal, entah kapan...

3. The Devil and Miss Prym

Seperti biasa, Paulo Coelho membuat novel bertema spiritual. Tapi dibandingkan novel The Alchemist yang pernah saya baca (dan sedikit lupa), Buku The Devil and Miss Prym terasa lebih kelam.

Novel ini menceritakan tentang seorang gadis desa bernama Chantal Prym yang diberi sebuah tawaran oleh seorang asing yang menginap di desa itu. Tawarannya adalah orang tersebut dapat mengubah hidup Chantal selama-lamanya, tetapi dengan syarat Chantal harus meninggalkan nilai-nilai yang diyakininya. Pergulatan batin ini sangat susah, sebab jika Iblis menang, maka akan berdampak berbahaya.

Bagi saya, novel ini sangat thrilling. Meskipun thrillingnya bukan dalam bentuk fisik, tapi dalam bentuk pergolakan jiwa dan sifat-sifat setiap orang. Endingnya put tidak buruk. Hanya saja alurnya mungkin terasa lambat.

4. Cari Angin: Kumpulan Tulisan di Tempo Minggu

Kumpulan tulisan Putu Setia di Tempo Minggu ini sangat mengasyikkan. Ringan namun kritis. Saya bahkan beberapa kali tersenyum saat membaca sejumlah bab. Bahkan saya yang “tidak peka politik dan hukum”, mampu mencerna segala pesan yang tersirat dalam tulisan-tulisannya.

“Cari Angin memang ‘kipas-kipas cari angin’. Tidak dengan cara menuliskan obat ‘paten’, tetapi lewat kesaksian kritis dengan nada rendah.
...Cari angin bukan hanya wajah pelakunya, tapi wajah kita.”
(Cari Angin, Putu Setia)

***

Setelah membaca buku-buku yang mengasyikkan tersebut, saya jadi tersadar. Mungkin Tuhan “meminjam” De Rahma (Dell Inspiron) saya untuk sekedar mengingatkan bahwa saya terlalu lama meninggalkan buku.

Akhirnya De Rahma telah kembali. Dan saya senang sekali. Tapi saya tidak boleh lupa membaca buku lagi. Semoga.
_________________________________________________________________
sumber gambar: google

Selasa, 03 November 2009

Equality In-Formality


Ah, yang namanya dalam suatu kepanitiaan formal, bahkan yang tingkat nasional sekalipun seperti EQUALITY 2009, pasti selalu ada berbagai aksi "informal" dari setiap pendukung acaranya... :)









Senin, 02 November 2009

Twenty Something

Ah iya, hari ini saya genap berumur 20 tahun. Ada banyak yang ingin saya ceritakan setelah sekian lama blog ini vakum. Tapi Laptop saya belum selesai diservis. Mohon maaf, ya!

Selasa, 20 Oktober 2009

Coba Katakan

...aku tak ingin terus terdiam memandangi harapan,
terlena akan manis cinta dan berujung kecewa,
aku tak ingin terus menunggu sesuatu yang tak pasti,
lebih baik kita menangis dan terluka hari ini..

(Maliq d'Essentials - Coba Katakan)

Hahaha... jarang sekali saya menuliskan lirik lagu di dalam blog saya. Tetapi tak apalah, karena lirik lagu ini akan mengawali tulisan saya mengenai sejumlah lagu Maliq d'Essentials yang saya sukai.

***

Entah mengapa saat Maliq d'Essentials mendobrak panggung hiburan tanah air dengan peluncuran album pertamanya dengan hit single seperti Terdiam atau The One, saya merasa biasa saja. Nothing special for me. Mungkin yang cukup saya suka adalah Blow My Mind. karena di sini nuansa funk-nya cukup terasa.

Di Album kedua (Free Your Mind) saya cukup jatuh hati dengan Heaven. entah mungkin karena musiknya yang cukup soulful buat saya. Apalagi saat berada di bait:

Jika Memang Adanya
aku dan Kamu
Kita Bahagia
Jadikanlah Cerita
Kita Berdua
Untuk Selamanya
Oh

Di album Free Your Mind Repackage, saya dibuat tergila-gila degan lagu Dia, yang sekaligus menjadi soundtrack film Claudia/Jasmine.

Dia... melihatku apa adanya... seakan ku sempurna.

Selain musiknya yang santai, lirik yang mantab, saya juga dimanja dengan video clipnya yang -entah mengapa- saya suka. Sampai-sampai saya mendownload videonya di Youtube. Fuh...

Ramadhan tahun lalu saya dibuat kaget. Saat seluruh radio dipenuhi dengan lagu-lagu religi-latah-sama-Gigi, tiba-tiba saya disejukkan dengan sebuah lagu religi yang sangat universal (dapat dinikmati oleh semua orang, termasuk non-muslim). Yang liriknya berbunyi:

Buka mata, hati telinga
Sesungguhnya, masih ada yang lebih penting
dari sekedar kata cinta...

Sangat universal bukan? Lagu itu langsung saya search di google dengan mengetikkan bait tersebut. Ternyata itu single religinya Maliq d'Essentials yang berjudul Mata Hati Telinga. Maaf sekali Ungu, tapi single religi kalian sangat tidak ada apa-apanya...

Lantas keluarlah album Mata Hati Telinga. Saya punya satu albumnya. Soal aseli atau bajakan, Rahasia, ya! hehehe...

'Pilihanku', menjadi lagu yang -menurut saya- sangat fun. Meskipun romantis, tetapi dipengaruhi oleh video klipnya yang fun, saya jadi merasa lagu ini sangat fun (and cool)!

Maukah kau 'tuk menjadi pilihanku
Menjadi yang terakhir dalam hidupku

***

Ah lagu-lagu Maliq d 'Essentials tanpa terasa telah menjadi soundtrack hidup saya. Saya orangnya memang sok nge-jazz, sok nge-soul, dan sok nge-blues. tapi yang membuat saya jatuh hati dengan band ini bukan masalah itu. Entah mengapa lirik setiap lagunya sangat mengiringi kehidupan saya. Termasuk lagu Coba Katakan yang saya dengar di radio beberapa hari yang lalu.

Lagu Coba Katakan sendiri menurut saya menjadi sebuah lagu sedih, yang sama sekali tak terdengar sedih. Jangan samakan lagu sejumlah band "tertentu" yang cengeng. Atau bahkan sejumlah band yang lagunya tidak sedih tapi sukses membuat saya menangis tak tahan. Hehehe...

Saya mengakui lagu-lagu Maliq sangat menjadi soundtrack hidup saya bahkan membantu dalam proses pendewasaan saya. Saya bukan fans berat Maliq d'Essentials. Tetapi saya adalah orang yang tidak sabar menunggu karya-karya mereka...

***
Aduh, tiba-tiba saya ingin:
Jalan-jalan.
Menulis Blog.
Membuat karya.
Jalan-jalan.
Menulis Blog.
Saya ingin keluar dari rutinitas!

Ada yang mau jalan-jalan?


Jumat, 02 Oktober 2009

Poster Batik


Entah mengapa hari ini saya terbangun begitu semangat. Membuat poster tentang batik dengan waktu yang cukup cepat, karena konsepnya sudah ada di kepala.

Saat mengeprint di Graphico saya melihat para karyawan mengenakan batik semua. Saat mengendarai sepeda motor pun segerombolan pelajar SMP menggunakan berbaai corak batik.

Tiba di kapus apalagi. Batik di mana-mana. Saya senang bisa turut mengenakan batik juga. Apalagi ketika saya diizinkan oleh bos Iqbal untuk memasang poster buatan saya untuk dipasang di Pendulum (Mading EQUILIBRIUM).

Indonesia sedang merayakan sebuah kemenangan. Sekaligus sedang bersimpati atas musibah Saudara-saudara kita di Sumatera Barat. Semoga korban musibah gempa Sumatera Barat diberi ketabahan dalam melalui segala cobaan yang telah terjadi. Amin.

Senin, 07 September 2009

Sumba in Lost

Pulau Sumba versi "Lost"

Saat ini saya sedang tergila-gila dengan serial tv Lost. Dan akhirnya saya kemarin telah sampai di episode akhir season 4. Dan ternyata di situ nama Indonesia disebut-sebut.


Jadi ceritanya, setelah berjuang selama 100 hari di sabuah pulau terpencil di samudra pasifik, enam orang survivors dari Ocean Flight 815 akhirnya berhasil mendapat pertolongan. Tapi karena satu dan lain hal yang cukup complicated, mereka sepakat membuat suatu kebohongan. Mereka pun memanipulasi seolah-olah selama ini mereka terdampar di pulau Membata yang tak berpenghuni dan berhasil menuju ke pulau Sumba, Indonesia. Tepatnya di desa Manukangga.

Peta saat konferensi pers

Sementara detik-detik saat mereka tiba di desa Manukangga, Sumba, dapat dilihat dari potongan-potongan film berikut:


Anak Sumba versi "Lost"

Nelayan Sumba versi "Lost"

Suasana desa Manukangga versi "Lost"

Penduduk berlarian

Menyelamatkan The Survivors

Oceanic Six Survivors (dari kiri): Jack Shepard, Hurley 'Hugo' Reyes, Kate Austen (+Aaron), Sun Kwon, dan Sayyid Jarrah.

Saya sendiri cukup ragu apakah pengambilan gambar dilakukan di desa Manukangga di Pulau Sumba atau hanya settingan saja. Penduduknya pun terlihat kurang “Indonesia”. Tapi sesaat terdengar beberapa kata yang tidak asing di telinga saya, seperti “Cepat Kemari” dengan logat huruf ‘e’ pada ‘enak’. Sisanya hanya kata-kata yang tidak begitu jelas.

Saya sendiri belum pernah ke Sumba. Apakah mungkin orang-orangnya seperti yang saya lihat dan berlogat sama di Serial Lost. Sementara itu Pulau Membata sendiri katanya hanya pulau fiktif dalam serial Lost. Tidak benar-benar ada di Indonesia.

Terlepas dari itu, asyik juga mendengar Indonesia diseret-seret di serial favorit saya. Saya jadi punya impian baru. Saya ingin sekali pergi ke desa Manukangga di pulau Sumba. Bukan karena keindahan alamnya, bukan juga karena ketertarikan budaya. Tetepi alasan utama adalah karena daerah ini pernah-diseret-seret dalam serial tv Lost. Itu saja! Hehehe...
___________________________________________________________________

Sekedar informasi, katanya film Eat, Pray, and Love (yang diangkat dari buku berjudul sama) akan melakukan proses syuting di Bali dan akan tayang pada 2010 nanti. Pemerannya antara lain Julia Roberts dan Brad Pitt.

Gambar-gambar dari postingan ini hak cipta ABC.

Minggu, 30 Agustus 2009

Kotakmusik Coklat

Entah mengapa saya hanya ingin memasukkan list 5 lagu yang sedang sering saya dengarkan minggu ini:

1. James Morrison - You Give Me Something


2. Adele - Chasing Pavements


3. Jamie Cullum - Everlasting Love


4. Sara Bareilles - Love Song

5. Michael Jackson (ft. Siedah Garrett) - I Just Can't Stop Loving You

Bukan resensi? bukan! ini hanya list saja. Karena saya tidak terlalu bisa mereview musik atau lagu. Tapi kalau kamu mau mencoba mendengarkan lagu-lagu di list kotak musik saya, silakan! atau jangan-jangan kamu sudah mendengar semuanya? karena ini semua memang bukan lagu baru...

Konon, musik mampu menggambarkan suasana hati seseorang. Ada yang mau menebak suasana hati saya? hehehe,,,

____________________________________________________________________________
Image resource:
images.uulyrics.com/
ecx.images-amazon.com/
wikimedia.org/
991.com

Senin, 24 Agustus 2009

Love in Laweyan


Kemarin saya diundang mbak Dini untuk mengikuti lomba Rally Foto di Laweyan. Saya ke sana bersama beberapa teman saya, seperti Mas Saiqa, Kinkin, Dzulfan, Mega, Mbak Indah, plus Pras dan Mbak Sani.

Tapi saat mengikuti lomba nyali saya langsung ciut. Saya bertemu dengan banyak orang dengan kamera-kamera pro-nya. Malahan salah satu di antara mereka ada yang membawa kamera engkol. Setelah dibagi menjadi beberapa kelompok, saya dan Mas Saiqa bergabung bersama tiga teman baru yang ketiganya anak-anak unit fotografi UGM (UFO).

Kami diberi sebuah peta kampung Laweyan, dan harus mencari tiga titik foto yang telah ditentukan melalui kata sandi. Akhirnya kami menemukan tiga titik foto, yaitu bapak yang sedang membatik di salah satu lorong Laweyan, Langgar Merdeka, dan Tugu Laweyan.

Karena merasa tidak percaya diri untuk mengumpulkan foto, saya dan Mas Saiqa sepakat untuk tidak mengumpulkan foto. Kinkin juga tidak mengumpulkan foto dengan alasan yang lebih aneh lagi, dia tidak memotret karena pada setiap titik foto yang dia kunjungi tidak menarik untuk difoto, fuh...

Ya sudah, ini akhirnya saya pajang di sini saja foto yang saya ambil. Dengan catatan foto sebelunya lebih buruk lagi karena saat dipajang di blog ini foto-foto ini sudah mengalami proses cropping:




***

Sisa waktu setelah Rally Foto saya habiskan bersama Mas Saiqa, Kinkin, Dzulfan, dan Mega untuk menjelajahi lorong-lorong Laweyan. Bolehlah galeri ini saya beri nama Love in Laweyan!





Dua cewe tiga cowo,
Dengan dua pasangan membojo,
Dan satu orang menjomblo,
Terpaksa dia yang memfoto...
Oh, no!
Si Jomblo tiba-tiba ingin membojo...

***


Semua pengambilan gambar Love in Laweyan diambil saat bulan Ramadhan, jadi jangan ditiru, ya! Hehehe...

Sorenya kami berbuka puasa dengan melakukan petualangan kuliner. Jus buah di daerah laweyan, susu segar ShiJack, dan bestik Lidah dekat Matahari Singosaren membuat perut kami serasa mau meletus. Laporannya bisa dilihat di blognya Saiqa.

Maaf kalau postingan ini tulisannya kurang menggigit! hehehe...

Senin, 03 Agustus 2009

Lost: Sempu Experience

Photo: Jo & Navan

Text & Editing: Navan

___________________________________________________________________________

LOST itu sebenarnya merupakan serial TV yang sudah tayang sejak 2004. Tapi baru sekarang saya menyaksikan season 1-nya. Dan saya langsung dibuat tergila-gila sama serial TV yang satu ini.

LOST menceritakan tentang jatuhnya sebuah pesawat di sebuah pulau di lautan pasifik, dan sejumlah orang yang selamat dari kecelakaan tersebut mau tidak mau harus berusaha bertahan hidup di pulau tersebut. Mereka yang selamat, yang memiliki latar belakang dan masa lalu yang berbeda, perlahan saling mengenal satu sama lain. Mereka harus survive secara bersama-sama untuk menghadapi pulau yang penuh misteri. Dan saat satu per satu misteri mulai terkuak, mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka saling terkait, dan terdamparnya mereka di pulau ini bukanlah suatu kebetulan!

Melihat serial ini jadi mengingatkan saya dua minggu lalu. Saat saya dan beberapa teman saya melakukan perjalanan ke pulau Sempu. Dan entah mengapa saya jadi terinspirasi untuk menulis postingan ini seolah-olah semacam spin-off nggak penting dari serial LOST, hehehe...

***

The Casts of Lost: Sempu Experience. Gina, Zulfan, Pras, D.A, Jo, Navan

The Characters:

Pras – The Keeper: Berbekal sejumlah pengalaman seperti mendaki Gunung Lawu, serta menjadi salah satu yang dituakan dalam kelompok ini, menjadikan Pras merasa paling bertanggung jawab dalam ekspedisi ini. Sesekali ia berada di depan untuk membuka jalan, atau berada di belakang untuk menjaga anggota lainnya.

Jo – The Photographer: Menemani Pras sebagai salah satu yang dituakan dalam rombongan ini. Pernah menjabat sebagai Pimpinan Produksi dalam BPPM Equilibrium. Ditemani dengan kamera pro miliknya, maka dia pun menjadi fotografer dalam kelompok ini. Suka memotret model, sehingga dalam ekspedisi ini pun ia melakukannya dengan Zulfan dan Gina sebagai modelnya.

Zulfan – The Clown: Melakukan perjalanan ke sempu telah menjadi obsesinya dalam beberapa minggu sebelumnya. Maka di sempu ini ia berusaha menikmatinya senyaman mungkin. Tingkah lakunya yang menyenangkan menjadi hiburan di tengah kebosanan. Mulai menjadi model fotografinya Jo, hingga mengajak tidur bersama di Pantai Sepanjang.

D.A – The Chef: Selama di Jogja ia menginap di rumah tantenya dan sering membantu memasak. Saat student exchange di Singapura pun ia terkadang memasak sendiri. Sehingga di kelompok ini ia mampu melaksanakan amanah sembagai kepala juru masak. Padahal masakannya cuma mie-nasi-sarden.

Gina – The Assistant: Sepupu Jo. Sekalipun menjadi anggota yang paling baru dikenal, namun ia dapat melakukan berbagai hal. Membantu D.A dalam urusan masak memasak, cukup kuat membawa carrier saat melakukan perjalanan, hingga menjadi model fotografinya Jo!

Navan – The Writer: Barang bawaan paling sedikit, tidak membawa barang-barang kelompok, cepat lelah saat melakukan trekking, dan tidak bisa memasak. Entahlah, yang bisa dia lakukan cuma menulis catatan perjalanan ini, hehehe...

***

Perjalanan menuju ke Malang tidak semulus yang dibayangkan. Kereta Gaya Baru dari Jogja ke Surabaya sempat mengalami mogok. Melakukan tawar menawar untuk menyewa mobil pun cukup alot. Hingga akhirnya kami baru tiba di Pantai SendangBiru pada saat senja. Kabar baiknya, kami tidak usah membayar tiket masuk Pantai SendangBiru. Sedangkan kabar buruknya lebih banyak lagi...

Kami menyewa kapal dari dari seorang nelayan bernama Bu Mamik. Tapi sebelumnya kami harus izin ke pihak pengelola kawasan cagar alam pulau Sempu. Setelahnya kami pun bisa melakukan penyeberangan ke Pulau Sempu.

Rintangan bahkan mulai muncul sejak kami baru memulai perjalanan. Saat mau menaiki perahu, kami harus berhati-hati terhadap ubur-ubur yang sengatnya bisa membuat lumpuh. Perjalanan dalam perahu menjadi sedikit menegangkan. Selain kami berlima ada sepasang suami isteri muda. Begitu tiba di Teluk Semut pun matahari telah terbenam. Suami isteri muda yang bersama kami segera memasuki hutan yang gelap. Sementara kami berlima membangun tenda. Bulan purnama sedikit membulat. Pulau Sempu saat malam hari memang mistis.

Belum selesai memasang tenda, sepasang suami isteri tadi kembali muncul dari hutan. Mereka bilang kalau memasang tenda di Teluk Semut, air laut bakal pasang dan kami bakal tenggelam. Waks! Segera saja kami membereskan tenda dan segera ikut masuk ke dalam hutan.

Tujuan kami adalah mencapai Segara Anakan. Dan melakukan trekking malam hari adalah hal yang membuat kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Kami harus menyalakan senter agar tidak tersesat. Kalau tersesat bisa sangat bermasalah. Akar-akar pepohonan membuat kami berkali-kali tersandung. Untung sang suami sebelumnya pernah ke Pulau ini, sehingga ia bisa memandu kami.

Setelah tersandung-sandung selama tiga jam, akhirnya kami tiba di Segara Anakan. Di sini kami pun segera memasang tenda dan segera melepas lelah di bawah terangnya bulan purnama. Malam pembuka yang sangat berkesan...

***

Matahari terbit dengan terhalang bebatuan karang yang mengelilingi Segara Anakan. Dan semakin tinggi matahari, semakin jelas keindahan Segara Anakan. Airnya sedikit berwarna hijau dari kejauhan, namun sangat bening jika dilihat dari dekat. Karena segara anakan merupakan danau dengan bocoran air laut, maka air di Segara Anakan sangat tenang, namun asin seperti air laut. Terlihat pula lubang masuk air laut dengan sesekali semburan ombak masuk di dalamnya.
Pagi itu hampir kami habiskan untuk bersenang-senang. Berenang, mengambil gambar, atau naik ke atas karang untuk melihat laut lepas. Katanya kalau sore hari air di Segara Anakan akan menyusut dan kita bisa mendekat ke arah goa.





Siangnya kami mencoba mencari jalan untuk menuju ke pantai kembar. Saat itu kami mencoba untuk mendaki bukit yang membatasi Segara Anakan dan Pantai Kembar. Dengan kemiringan yang cukup curam, mau tidak mau sesekali kami hharus berpegangan pada tumbuhan dan menahan diri untuk tidak jatuh.

Setelah bersusah payah mencapai Pantai Kembar, kami baru menyadari bahwa ternyata ada sebuah ruas jalan setapak yang menghubungkan Segara Anakan, Pantai Kembar, dan Pantai Sepanjang. Hargh, kami gondok.

Pantai sepanjang menjadi pantai terbaik yang kami kunjungi di Pulau Sempu. Selain areanya yang cukup panjang, kita dapat melihat berbagai batu karang yang sangat memanjakan mata. Saat sampai di Pantai Sepanjang pada pukul satu siang, Zulfan mengajak kami untuk tidur bersama di bawah pohon.





Begitu kami kembali ke Segara Anakan saat senja, daerah tersebut jauh lebih ramai dari kemarin malam. Maklum saja malam itu malam minggu. Dan kami pun sangat menikmati malam minggu di bawah bulan purnama sambil mengobrol satu sama lain hingga bermain tebak-tebakan.

***

Kesokan harinya kami pun bersiap pulang. Dan dalam perjalanan kami baru menyadari bahwa jalan yang kami tempuh selama tiga jam dan tersandung-sandung pada saat trekking malam ternyata jalan yang cukup lebar dan jelas. Dan dari Segara Anakan ke Teluk Semut ternyata hanya cukup menghabiskan satu jam saja!

Pulangnya, kami menuju Terminal Arjosari bersama mobil sewaan saat berangkat. Nama sopirnya adalah Pak Kholik. Beliau sangat baik, bahkan kami sempat diajak ke rumahnya dan menyantap masakan isterinya. Saat mencari oleh-oleh pun kami diajak menuju sentra oleh-oleh keripik buah di daerah Sanan, Malang.

Satu hal yang cukup berkesan di Sempu adalah, saya sempat berbicara dengan suami dan istri yang telah baik hati memandu kami pada saat trekking malam. Mereka berdua bernama Kak Ijul dan Kak Eka. Saya sempat mengobrol dengan kak Eka. Saat kuliah dia mengaku suka menjadi penikmat alam. Saat kami mengobrol soal tempat-tempat menarik dan saya memberitahu kalau saya dari Jember, dia malah berkata kalau di jember banyak tempat yang jauh lebih menarik, seperti Pulau Nusa Barong dan Taman Nasional Meru Betiri.

Saat saya mengobrol dengan salah seorang pengunjung Sempu bernama Mas Zaki, dia juga mengatakan hal yang sama seperti mbak Eka. Bahkan dia pernah melakukan trekking di Pulau Nusa barong yang menghabiskan waktu satu minggu.

What!? Jauh-jauh saya pergi ke Sempu, dan di sini saya malah bertemu dua orang yang mengatakan kalau Jember punya sejumlah tempat yang lebih menarik? Sebagai orang Jember yang tidak terlalu tahu Jember, saya jadi sangat malu...

***

Kembali ke LOST, ternyata cerita Sempu ini jadi nggak bisa disambungin banget sama LOST! Hehehe... yasuda, lah! Saya mau nonton lagi yang season 2, sambil menunggu dua tokoh LOST favorit saya bernama Hugo dan Sun...


Rabu, 29 Juli 2009

Bali Travel Report 2009


Kalau dipikir, saya kemarin sungguh beruntung. Saya mendapat kesempatan mengunjungi Pulau Bali selama 6 hari. Ini semua berawal dari kakak saya, Mas Ayos, yang melakukan kerja praktek di daerah Sayan, Ubud. Keberuntungan saya semakin bertambah ketika ia mendapatkan kos di dekat tempat kerjanya, sehingga saya bisa menggunakan sepeda motor yang mempermudah saya mengeksplor Bali.

Dari enam hari tersebut, saya berusaha menjangkau sejumlah tempat yang mungkin dan ingin saya jangkau. Syukurlah, sejumlah tempat berhasil saya datangi. Dari sana saya mendapatkan berbagai cerita yang telah saya share melalui kotakcoklat89 ini.

Pengalaman saya secara runtut saya tulis dalam paket Bali Travel Report 2009 ini. Adapaun isinya adalah sebagai berikut:

• Hari 1: Kembali ke Bali
• Hari 2: Sudut Sudut Ubud
• Hari 3: Batur Bertutur
• Hari 3: Anti Boring di Tampaksiring
• Hari 4: Satu Waktu di Uluwatu
• Hari 5: Gajah Punya Goa, Monyet Punya Hutan
• Hari 5: Berburu Senja Di Tanah Lot
• Hari 6: The Last Day in A Wrong Way

Saya berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi teman-teman. Jika dalam tulisan saya terdapat kesalahan, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Sangat terbuka terhadap saran dan kritik teman-teman.

Terima kasih,
Kotakcoklat89.blogspot.com

Senin, 27 Juli 2009

The Last Day in A Wrong Way

Text and Photo: Navan Satriaji
____________________________________________________________________

Saya marah sama kakak saya. Dia telah membuat postingan baru di blognya. Dengan tampilan foto yang lebih ciamik, pula. Saya malas kalau nantinya ada double posting, jadinya postingan kali ini saya buat sederhana saja, yang nantinya akan saya tambahi link yang terkait dengan blog kakak saya, okeh? (sebenarnya ini hanya alasan saya yang sedang jenuh membuat postingan tentang Bali. Oportunis sekali! Hehehe...)

Ini hari keenam di Bali dan ini menjadi hari terakhir saya sebagai kesempatan menjelajahi Bali. Ada satu tempat yang masih membuat saya penasaran untuk mengunjunginya. Tempat itu tak lain dan tak bukan adalah Bedugul. Ah, saya begitu ngidam lihat pura yang ada di tengah danau yang biasa ada di majalah atau internet. Dan saya seharusnya bisa melihatnya di Bedugul.
Ok, saya dan kakak saya telah sepakat, tujuan kami kali ini adalah Bedugul. Dengan keyakinan bahwa Bedugul berada di sebelah utara Ubud dan belok ke Barat sedikit, kami pun segera berangkat. Dan tidak membawa peta adalah kesalahan fatal yang nantinya akan mempengaruhi perjalanan kami...

***

Sepanjang perjalanan ke arah utara saya berharap melihat papan jalan yang menunjuk ke arah barat dan bertuliskan Bedugul. Tapi ternyata tanda tersebut tak kunjung muncul dan kami tahu-tahu telah sampai di Kintamani. Waks! Itu berarti beberapa puluh kilometer di timur Bedugul.

Nyasar? Ya! Nyesel? Nggak. Kakak saya langsung mengusulkan untuk menikmati kopi sejenak di Kintamani. Asal tahu saja, kami mengincar kopi Kintamani yang katanya rasanya cukup khas itu. Saya baru sadar, warung kopi adalah singgahan wajib kalau kita berjalan-jalan. Selain menikmati kopi Kintamani, dari warung kopi tersebut kami sempat mengobrol dengan penduduk setempat, dan kami banyak mendapatkan informasi yang tidak penting tapi mengasyikkan. Mulai dari asal usul kota kintamani yang berasal dari “cinta money” (wakakak!), informasi pemukiman jawa-madura, hingga anjing Kintamani yang ekornya sangat khas.


Kopi Kintamani seribu rupiah.

Anjing Kintamani

Di Kintamani kami sempat berhenti di salah satu masjid. Namanya masjid Al Muhajirin. Masjid tersebut memiliki keunikan tersendiri, karena diapit oleh perkampungan jawa dan madura. Saat tiba di sana, kakak saya ingin buang air kecil. Tapi apa daya pintu masjidnya terkunci. Akhirnya setelah berkenalan dengan salah seorang penduduk, kakak saya turun menuju perkampungan Madura untuk buang air sekaligus mengorek informasi soal perkampungan tersebut.

Bagaimana dengan saya? Sambil menunggu kakak saya, saya diizinkan untuk masuk masjid Al Muhajirin yang terkunci dengan cara melompati pagar. Saat masuk ke dalamnya, wow, nampak sederhana, tapi ruang di belakang yang menghadap timur terpasang jendela lebar yang bisa melihat pemandangan danau dan gunung Batur. Masjid yang sederhana namun sangat asyik. Kalau masjidnya seperti ini, saya pasti langsung jadi lebih rajin beribadah, hehehe...


Masjid Al Muhajirin, Kintamani

Gunung Batur yang dilihat dari dalam masjid

Reportase kakak saya mengenai Kintamani dapat dilihat di sini


***

Menurut informasi, jika ingin ke Bedugul kita bisa ke arah selatan melewati jembatan Tukad Bangkung. Tapi lagi-lagi kami menemukan sejumlah hambatan, tetapi hambatan yang mengasyikkan.

Kami sempat tertarik terhadap sebuah pura yang tak terawat. Adapun fakta dari pura yang nampak tak terawat itu cukup unik. Jika ada penduduk sekitar ada yang meninggal, maka sebuah pantangan bagi penduduk untuk mengunjungi pura tersebut selama sekitar satu bulan. Anehnya, penduduk meninggal secara beruntun dan bergantian, mungkin karena banyak penduduk usia tua. Sehingga pantangan untuk mengunjungi pura pun semakin lama, dan jadilah puranya tak terawat.

Mampir ke pura yang tak terawat

Hambatan lainnya, dalam perjalanan kami melihat sebuah sasana tinju bernama Cakti Bali. Dan ternyata kami menemui seorang petinju. Kakak saya yang pernah melihat sebuah pertandingan tinju segera mengenalinya. Namanya Jack Timor. Sementara saya yang tidak suka tinju tidak tahu apa-apa. Di sasana tersebut kakak saya mewawancarai habis-habisan Jack Timor. Sementara bang Jack sendiri tidak keberatan. Dengan lancar ia menceritakan kisah hidupnya yang memberikan sejumlah inspirasi bagi saya. Ia baru 19 tahun, tapi telah menempuh sejumlah perjuangan. Bagaimana dengan saya, yang juga berumur sama? Tidur, yuuukkk... hehehe...

Mas Ayos vs. Jack Timor

Menurut informasi dari Jack, Jembatan Tukad Bangkung yang kami cari tak jauh lagi. Bahkan dari sasana Cakti Bali pun sudah terlihat jembatan tersebut. Langsung saja saya dan kakak melaju ke Jembatan Tukad Bangkung. Jembatan Tukad Bangkung ini memiliki tinggi 71 meter dengan 41 meter pondasi dalam tanahnya. Konon jembatan ini merupakan jembatan tertinggi di Asia Tenggara.

Surabaya punya Suramadu. Bali punya Tukad Bangkung. Konon tertinggi di Asia Tenggara.

Sementara reportase mengenai Jack Timor hingga Jembatan Tukad Bangkung dapat dilihat dalam blog kakak saya.

***


Lagi-lagi dalam perjalanan kami mendapat informasi mengenai sebuah air terjun bernama air terjun Nungnung. Menurut informasi yang kami peroleh, air terjun ini masih berada dalam lingkungan yang cukup asri, dan belum terlalu banyak dipadati oleh pengunjung.

Tak butuh waktu lama untuk menemukan air terjun Nungnung dari Jembatan Tukad Bangkung. Kalau di blog kakak saya dibilang free entrance, maka salah besar. Karena sesungguhnya untuk masuk ke air terjun ini ada tiket masuknya, hanya saja kakak saya tanpa sadarnya nyelonong masuk. Hehehe...

Pertama kali dari pintu masuk kita langsung dihadapkan pada tangga turunan sepanjang kira-kira 500 anak tangga, lah! Tentu saja begitu sampai di bawah kaki saya langsung gemetaran cukup lama. Tapi tenang saja, usaha menuruni anak tangga tidak terbuang percuma, karena kita dihadapkan pada pemandangan yang sangat mengagumkan. Kakak saya malah dalam blognya menyebut Nungnung sebagai downstairs paradise. Cahaya yang menembus dari balik dedaunan. Air terjun yang cukup deras. Hawa yang sejuk. Suasana yang terbilang sepi. Perfect! Kecuali anak tangga yang bikin jantungan saat pulang. Huh!

Lelah mendaki

Air Terjun Nungnung

Air terjun Nungnung dalam blog kakak.

***

Jam menunjukkan pukul 3 sore. Saya harus segera ke terminal Ubung Denpasar, selain itu kakak saya ada tugas membuat proposal. Lantas bagaimana dengan Bedugul? Dengan berat hati saya mengatakan bahwa kami batal menuju ke sana karena keterbatasan waktu. Waks.

Saya pun telah mendapatkan bis menuju Jember. Dengan berat hati saya mengakhiri perjalanan saya di Bali. Entah kapan lagi saya bisa ke pulau ini. Goodbye, Bali...