Senin, 13 Juli 2009

Batur Bertutur

Photo & Text by: Navan ____________________________________________________________________

Di hari ketiga ini saya telah memegang STNK motor, sehingga saya bisa menjangkau Bali lebih luas lagi. Pada malam sebelumnya, saya telah mencoba merencanakan rute yang akan saya tempuh pada hari ketiga. Dan pilihan saya ternyata adalah menjelajah daerah utara Ubud, yang entah mengapa saya tergoda untuk menuju daerah Tampaksiring dan Batur.

Saya segera tancap gas menuju arah utara. Di pertengahan jalan Ubud, saya melihat ada papan penunjuk yang bertuliskan Tampaksiring dengan arah ke kanan. Sepertinya ada jalan potongan menuju ke Tampaksiring, dan saya tak ragu-ragu untuk membelokkan sepeda motor saya.

Jalan tersebut ternyata melewati pedesaan bali yang masih cukup asri. Saya masih melihat sejumlah masyarakat yang melakukan sembahyang di pura. Sempat pula saya bertemu beberapa penduduk sedang memotong bambu untuk melakukan persiapan upacara potong gigi. Melewati sisi-sisi pedesaan Bali amat sangat menarik. Selain dimanjakan pemandangan yang asri, kita diperlihatkan berbagai fenomena budaya yang ada.

Karena terlalu terlena dengan suasana pedesaan Bali yang sangat memukau, tanpa sadar tujuan pertama saya, Tampaksiring, ternyata menjadi lebih jauh daripada menuju Danau batur. Jadilah saya mengubah tujuan saya untuk ke Danau Batur terlebih dahulu.

***

Bagitu tiba di pintu masuk menuju area wisata Danau Batur, saya harus membayar tiket masuk sebesar 5000 rupiah, yang seharusnya bisa gratis jika saya langsung menyelonong masuk saja. Tapi tak apalah, karena begitu tiba di tepi atas Danau Batur, saya langsung bisa melihat pesona Danau Batur yang berbentuk lengkung dan diapit oleh Gunung Agung dan Gunung Batur.


Dari jalan atas yang menghubungkan Singaraja-Gianyar ini saya juga melihat sejumlah pedagang berjejer menjajakan makanannya, seperti bakso Malang dan sebagainya. Saya juga beberapa kali ditawari (dengan sedikit memaksa) oleh sejumlah penyedia jasa tatto jalanan yang rata-rata usianya di bawah saya.

Melihat danau Batur dari atas belum dapat memuasakan saya. Saya tergoda untuk turun ke bawah, karena selain dapat melihat Danau Batur lebih dekat, di bawah ada akses menuju sumber air panas ToyaBungkah atau akses menuju desa adat Trunyan (tempat di mana mayat tidak dikubur atau dikremasi, tetapi diletakan di bawah pohon). Sementara Jalan menuju bawah Danau Batur cukup membuat saya berhati-hati dengan bentuknya yang berkelok-kelok dan penuh tikungan tajam.

Begitu sampai di bawah, saya tidak terlalu tertarik menuju ToyaBungkah selain saya tidak tahu akses ke sana. Saya lebih penasaran menuju Trunyan. Sepertinya ada akses ke sana jika menggunakan sepeda motor. Tapi saya ragu, katanya satu-satunya akses ke Trunyan adalah menggunakan perahu. Sementara harga sewanya sendiri cukup mahal buat saya. Jadilah saya hanya menikmati Danau Batur saja dari dekat. Saya mencoba mengabadikannya lewat photoshoot saya:





***

Terlalu sayang jika hanya melihat Danau Batur sebatas pandangan mata saja. Sebab Danau Batur punya cerita. Dan cerita itu saya dapatkan saat mengunjungi Museum Gunung Berapi Batur.

Biasanya yang datang ke Museum ini rombongan pelajar atau rombongan keluarga. Tetapi yang datang sendiri seperti saya pun juga tetap bisa mengunjungi. Cukup dengan membayar 5000 rupiah, saya sudah ditemani oleh seorang guide yang siap menjelaskan keseluruhan isi museum.

Dimulai dengan alat peraga pemetaan gunung berapi di seluruh dunia, kita dapat melihat bahwa Indonesia menjadi bagian di dalamnya.

Tetap sebagian besar porsi museum ini diperuntukkan untuk menjelaskan kisah mengenai Danau Batur, Gunung Batur, dan Gunung agung. Dua letusan yang terjadi di Gunung Batur pada sekitar 20-30 ribu tahun yang lalu membuat Gunung Batur memiliki dua kaldera yang konon termasuk yang terbesar dan terindah di dunia. Dasar Kaldera yang tergenangi air itulah yang akhirnya membentuk Dananu Batur. Gunung Batur sendiri memiliki tiga kawah. Penjelasan ini dapat kita ketahui lewat sejumlah alat miniatur, film pada komputer, hingga gambar-gambar yang terpampang di dalamnya.
Setelahnya di museum ini kita bisa melihat sejumlah alat seperti Seismograf manual maupun digital, hingga layar LCD yang menghubungkan dengan kamera pemantau area Gunung Batur. Sejumlah bebatuan yang tersimpan susunan tanah Gunung Batur, batuan beku dari lava, hingga belerang dari Kawah Ijen pun dipamerkan di sini.




***

Menuliskan kisah Danau Batur yang tidak ada habisnya, sudah cukup menghabiskan satu porsi postingan pada blog saya. Padahal masih banyak cerita di daerah Batur yang belum saya dapatkan. Sebut saja Toya Bungkah Hot Spring, Trunyan, atau Pura Ulun Danu (yang katanya merupakan pura terindah di Bali). Kapan lagi, ya saya bisa ke Danau batur Lagi?


3 komentar:

saiqa mengatakan...

bali tampaknya sangat berkesan buatmu,,btw,foto2mu komponya bagus2,,,saya suka...

Sasmita Dini mengatakan...

oleh oleh cerita yang seru :D

Navan mengatakan...

@ mas saiqa:
iya, berkesan banget... tapi soal foto, perasaan biasa aja, deh! hehehe...

@ mbak dini:
sayang gag bawa "oleh-oleh" sungguhan, hehehe...