Jumat, 31 Desember 2010

That's Life

That's life, that's what all the people say.

You're riding high in April,

Shot down in May

But I know I'm gonna change that tune,

When I'm back on top, back on top in June.

(Frank Sinatra)

 

Lima jam sebelum tahun baru, dan tiba-tiba saya ingin menulis sambil menoleh ke belakang. Entah kapan terakhir kali saya menulis langsung seperti ini. Padahal baru baris kedua, tetapi saya berkali-kali memencet tombol backspace dan menulis ulang. Percaya, deh, meskipun saya bukan seorang penulis, namun terasa sekali perbedaan ketika dulu saya sering menulis ini itu dengan sekarang yang enam bulan terakhir ini saya tak menulis selain untuk tugas kuliah. Jemari terasa kaku. Pikiran pun terasa buntu. Saya seperti zombie yang sedang menulis.

Saya sedang menulis sambil menoleh kebelakang. Dan tiba-tiba saya jadi merinding sendiri. Sederhana saja, tahun 2010 ini termasuk salah satu tahun terkelam dalam hidup saya. Yup, satu-dua kejadian yang tidak enak, plus erupsi merapi, plus kalahnya timnas, plus saya sendiri yang lebay dan suka mendramatisir, lengkap sudah tahun 2010 saya yang kelabu.

Saya orangnya tidak bermental baja. Tapi saya bermental kasur. Jadi kalau ada sejumlah masalah kecil, tinggal saya bawa tidur, dan besoknya saya sudah sembuh. Saya masih ingat di tahun ini saya dimarahin bapak-ibu gara-gara saya telat bayar SPP. Saya ingat juga di tahun ini saya dipermalukan seorang dosen gara-gara teman sekelompok saya tidak masuk, tapi ada tanda tangan, dan saya yang kena marah di depan kelas. Saya juga ingat kalau di tahun ini saya mencoba mengapply sejumlah beasiswa dan gagal. Tapi kesemua itu hanya kebodohan kecil yang suatu saat bisa saya ceritakan ke teman saya sambil tertawa-tawa. Saya percaya, kalau cerita buruk di hari ini bisa jadi cerita lucu di hari esok.

Tapi saat saya menoleh ke belakang, ada banyak hal yang tidak sesepele itu. Ada hal-hal yang jika saya bawa tidur dengan mental kasur saya, justru akan berujung ke mimpi buruk. Tentu saja cerita tersebut tidak akan bisa menjadi cerita lucu di hari esok.

Hingga saat ini saya masih menyesali tindakan saya yang berusaha untuk menjadi sendiri –bukan mandiri. Saat itu saya berpegang teguh bahwa manusia adalah makhluk anti sosial (entah apa artinya, tapi saya pikir anti sosial itu keren, haha..). Mungkin saat itu saya tengah jenuh dengan komunitas. Mungkin saat itu pula saya sedang sok mencari jati diri. Saya tambahkan aksi saya dengan men-deaktivasi akun facebook saya dan tak lagi menulis di blog. Cool! Saya menjadi makhluk anti sosial seketika. Dan saat itu pula saya langsung mengalami kesepian yang begitu mendalam. Saya kapok.

 Bagi yang ingin mencoba. Saya sarankan jangan sekali-kali. Karena ternyata pepatah mati satu tumbuh seribu tak berlaku sama sekali di dalam kehidupan sosial. Saya seperti burung yang terbang dari sangkar, tapi saya tak pernah lagi bisa kembali ke dalam sangkar. Saya sempat menghidupkan kembali akun facebook saya, dan bukannya memperbaiki jejaring sosial saya, saya malah kecanduan main FarmVille, ya sudah saya matikan lagi, haha...

Tahun 2010 semakin diperparah dengan menurunnya produktivitas saya. Saya tidak pernah bilang saya produktif. Saya tidak pernah punya karya ini itu. Tapi sebelum-sebelumnya saya selalu doing something. Hal-hal kecil atau apaaa... gitu. Tapi tahun ini saya mati. Kamera pemberian kakak saya tergantung di sudut kamar saya 4 bulan terakhir (Sorry, mas!). Mouse saya rusak dan coreldraw saya tak pernah dibuka beberapa bulan. Wow, jika anti-produktif adalah sebuah prestasi, pastilah saya menjadi mahasiswa berprestasi 2010, haha..

Saat erupsi merapi dosa saya semakin bertambah. Saya lebih memilih kabur pulang kampung daripada menjadi relawan. Padahal kakak saya yang baru pulang dari Papua justru ke Jogja untuk menjadi relawan. Sejak saat itu saya dihantui oleh sindiran-sindiran orang tua saya,”Kamu kok nggak jadi relawan?” Saat itu juga saya merasa menjadi orang yang paling tidak punya hati.

Rasa-rasanya hampir nangis setiap melihat mimpi-mimpi buruk saya selama ini. Untungnya saya tidak pernah benar-benar menangis kecuali saat menonton Toys Story 3 yang sukses membuat air terjun dari mata saya. Untungnya saya sangat dibantu dengan foto ini:


Teman saya yang memotret saya saat KKN. Entah mengapa setiap melihat foto tersebut saya menjadi merasa berarti (padahal di foto tersebut saya main-main). Saya merasa pasti ada suatu tempat di mana saya menjadi manusia yang berarti. Mungkin tempat itu bukan tempat saya sekarang ini.

Oh, ya. Di penghujung tahun ini ada sebuah percakapan antara kakak saya dengan Teguh Sudarisman yang dishare dalam blognya, hifatlobrain. Jarang-jarang lho saya memberi link ke blog kakak saya, apalagi di tahun 2010 ini saya menderita penyakit Brotherhood Jealously. Tapi entah kenapa percakapan tersebut menjawab beberapa pertanyaan yang selama ini saya cari-cari (mungkin jawaban pertanyaan saya ada di Al-Qur’an, tapi saya jarang baca Qur’an apalagi terjemahannya, hehe...). Percakapan tersebut menurut saya bukan sekedar mengenai travel writing, backpacking, atau resolusi foto. Bagi saya percakapan tersebut adalah bagimana kita harus menjadi berbeda dan percaya diri, melihat detail dari perspektif lain, hingga bagaimana kita menikmati hidup dengan keluar dari rutinitas.

Empat jam lagi menuju tahun baru. Saya belum membuat resolusi dan sepertinya tidak akan pernah membuatnya. Resolusi cuma bikin sakit hati kalau tidak tercapai. Cukuplah motivasi saya muncul secara spontanitas saja.

Tahun 2011 seperti apa, ya? Entahlah. Kalau bagus ya Alhamdulillah, kalu buruk ya jalani saja. That’s Life!

Rabu, 02 Juni 2010

Happy Ending

Ending seperti apa, sih yang kamu suka? Ending yang tidak tertebak? Ending yang menggantung? Atau ending yang “aman-aman” saja? Mungkin kalau di dalam film, setelah kita menonton selama 2-3 jam, dan kita akan langsung disuguhi endingnya. Terlepas dari puas atau tidaknya kita terhadap ending tersebut, mungkin efeknya terhadap kita hanya akan terjadi dalam beberapa saat saja. Kecuali kamu benar-benar freak dengan film tersebut, atau film tersebut berseri atau trilogi.

Lah, kalau serial TV? Berbeda dengan film, di serial TV kita dihadapkan pada berpuluh atau beratus episode. Sehingga jika seseorang sudah fanatik dengan cerita serial tersebut, pasti akan terjadi jalinan emosi kuat di dalamnya. Tentunya episode penutup suatu serial akan memberikan kesan dan efek yang lauh lebih dalam dibanding akhir dari sebuah film.

Ah, saya ternyata ngomongnya ngalur-ngidul. Padahal yang saya ingin sampaikan adalah: setelah enam season saya mengikuti serial ini, saya akhirnya menonton episode terakhir dari serial kesayangan saya, LOST!


Cast of LOST dengan gaya ala "The Last Supper"

Man of Faith, Man of Science

Tentu saya tidak akan menceritakan panjang lebar tentang episode akhir serial ini. Tetapi ada beberapa cerita menarik ending serial LOST ini di mata penggemarnya, termasuk saya.

Bagi penggemarnya, ending serial LOST ini termasuk kontroversial. Banyak yang suka. Tapi banyak juga yang berkomentar “Hah, Cuma gini doang?”. Yup padahal kedua-duanya adalah penggemar fanatik LOST!

Jadi begini, sebagai sebuah serial TV ber-genre SciFi Drama, sesungguhnya LOST banyak menawarkan beragam cerita bagi penggemarnya. Baik dari segi dramanya atau dari segi SciFi-nya. Dari segi Drama, dapat diperlihatkan melalui konflik dan cerita kehidupan antar karakternya. Dari segi SciFi-nya, ada beragam misteri dan twist cerita yang benar-benar membuat penasaran untuk terus mengikutinya.

Sayangnya, episode terakhir dari serial LOST hanya memenuhi kepuasan penggemar dari segi Drama-nya saja. Sedangkan berbagai pertanyaan atas misteri yang muncul dari sisi SciFi-nya tidak banyak terjawab. Yang ada justru malah banyak muncul pertanyaan dan misteri baru.

Nah, mereka yang puas dalam ending serial ini adalah mereka-mereka yang lebih mementingkan jalan cerita drama-nya daripada misterinya. Atau mereka yang berharap Happy Ending dari serial ini. Kelompok ini dalam penggemar LOST dimasukkan ke dalam golongan “Man of Faith”. Sedangkan mereka yang pukul-pukul meja setelah menonton episode terakhir ini karena kecewa dimasukkan ke dalam kategori “Man of Science”, yang sebenarnya mengharapkan ending dengan terjawabnya seluruh misteri yang terdapat dalam serial ini.

Bagaimana dengan saya? Hahaha... untungnya saya masuk golongan Man of Faith. Yang sejak awal saya tidak terlalu berekspektasi tinggi dengan episode final serial ini. Saya sudah menduga bahwa misteri dalam serial ini yang seabrek-abrek susah dijawab hanya dalam satu episode terakhir. Yang saya harapkan cuma satu: happy ending yang membuat saya bisa ikhlas berpisah dengan serial kesayangan ini. Dan doa saya ternyata terkabul! Saya sangat dipuaskan dengan endingnya. Dan kini pun saya bisa tidur nyenyak....

Minggu, 02 Mei 2010

Goodbye, Parahyangan!


Kompas hari ini memuat satu ulasan khusus mengenai diberhentikannya kereta api bisnis Parahyangan karena jumlah penumpang yang terus menurun. Sebenarnya banyak pihak yang menyayangkan diberhentikannya kereta ini. Terutama yang sering bolak-balik Bandung-Jakarta  seperti para mahasiswa atau pekerja kantoran.


Saya membuat judul “Goodbye, Parahyangan!” seolah saya punya ikatan batin dengan kereta bisnis Parahyangan. Padahal kalau dipikir, saya hanya sekali menggunakan kereta bisnis Parahyangan, yaitu saat berkunjung ke Bandung dan Bekasi liburan kemarin. Bagaimana mungkin saya yang hanya satu kali naik kereta bisnis Parahyangan merasa punya ikatan batin?


***


Jadi, liburan kemarin, setelah puas berkunjung ke tempat teman di Bandung, saya akan berkunjung ke tempat om saya di Bekasi dengan menggunakan kereta bisnis Parahnyangan. Saya sendiri lupa harga tiketnya berapa. Namun yang jelas, saya tidak kebagian tempat duduk, mungkin karena penumpangnya cukup padat. Lantas saya pun duduk di pinggir pintu.


Ini yang menarik. Sepenjang perjalanan, ketika melewati daerah Padalarang (kalau tidak salah) dan berada di atas tol Cipularang, kita benar-benar di suguhi pemandangan yang memukau. Bagaimana tidak, daerah yang dilewati berupa perbukitan-perbukitan hijau yang mempesona. Bisa dibilang, tol Cipularang berada  di bagian bawah, sementara rel kereta api di daerah atas. Sehingga kita bisa melihat daerah padalarang secara lebih luas jika melihatnya dari sisi rel kereta api.


Karena saya duduk di pintu, saya pun mendapatkan sensasi tersendiri. Karena daerahnya berbukit-bukit, maka banyak sekali rel yang ditopang oleh jembatan. Dan setiap kali melewati jembatan, saya seolah berada di tepi jurang. Saya bisa melihat pepohonan serta sawah yang berada di bawah saya. Mungkin inlah hikmahnya saya tidak mendapatkan tempat duduk.


***


Sayang sekali jalur kereta ini diberhentikan. Saya pernah melewati jalur Surabaya-Jakarta, Surabaya-Jogja, Surabaya-Banyuwangi, Jogja-Bandung, dan Bandung Jakarta. Dan sejauh ini, dari sejumlah jalur kereta yang pernah saya lewati, Jalur Bandung-Jakarta yang melewati daerah Padalarang-lah yang memiliki pemandangan terbaik. Sungguh saya benar-benar menikmati pesonanya. Meskipun jalur tersebut masih dipergunakan selain kereta Parahnyangan, namun saya tetap berdoa, semoga suatu saat kereta Parahyangan dapat beroperasi kembali, dan menjadi transportasi yang nyaman bagi banyak orang, amin.


Oh, iya. Sementara itu kereta JogloSemar yang menghubungkan Jogja-Solo-Semarang sudah beroperasi. Semoga suatu saat saya bisa menaikinya untuk sekedar main-main ke Lawang Sewu. Ada yang mau nemenin?


sumber foto: google.com

Minggu, 21 Februari 2010

Ujung Genteng Travel Report 2010

Saya melakukan perjalanan bersama teman saya, Agra, pada 22 Januari 2010 kemarin di Pantai Ujung Genteng, Sukabumi Selatan, Jawa Barat. perjalanan ini memberi kesan tersendiri bagi saya, karena ini pertama kalinya saya berinisiasi mengadakan perjalanan sendirian.

Mungkin perbedaan travel report kali ini dibandingkan dengan travel report sebelum-sebelumnya adalah, saya menulis report ini dengan sesingkat mungkin. Mungkin karena saya masih berada dalam proses pemulihan dari penyakit “malas nge-blog”.

Di dalam travel report ini, bisa dilihat bagaimana proses awal mula perjalanan saya hingga bisa sampai ke daerah Sukabumi selatan lewat catatan: Prolog. Sebelum sampai di Pantai Ujung Genteng itu sendiri, saya dan Agra menyempatkan diri mampir ke Curug Cikaso, yang dituliskan dalam Cuaca Cerah Curug Cikaso. Esoknya, Kami pun menghabiskan satu hari (minus setengah hari karena hujan) dengan bermain-main di Sepanjang Ujung Genteng. Terakhir, saya punya satu keinginan yang harus dikabulkan sebelum saya kembali dari Ujung Genteng, yaitu saya Harus Bertemu Penyu!

Namun ternyata perjalanan kali ini memberi suatu pengalaman tersendiri bagi saya karena ternyata ada berbagai hal yang membuat saya merenungi, apakah saya mendapatkan sesuatu dari perjalanan ini, karena tiba-tiba saya merasa bahwa Saya Pejalan Gagal. Ini adalah sebuah curhatan yang terselip dalam Travel Report, hahaha...

Akhir kata, semoga Travel Report kali ini mampu memberi inspirasi bagi Anda semua. Saran selalu saya tunggu, Kritik pun akan saya terima. Syukur-syukur kalau Anda mau mengajak saya jalan-jalan, hehehe...

Harus Bertemu Penyu!

Hari terakhir saya di Ujung Genteng, saya merasa gondok. Saya gagal melihat penyu bertelur malam hari karena hujan, saya juga gagal melepas penyu saat senja karena (lagi-lagi) hujan. Padahal salah satu tujan saya ke Ujung Genteng adalah untuk melihat-lihat penyu.
Kalau saya pulang dari Ujung Genteng dan belum melihat penyu, saya bakalan mati penasaran, nih!

Akhirnya saya membujuk Agra untuk mampir ke Penangkaran Penyu di Pantai Pangumbahan sebelum saya pulang. Tak masalah saya tak bertemu dengan penyu, asalkan saya sudah mampir ke tempatnya.

Medan menuju ke Pantai Pangumbahan cukup susah bagi motor bebek yang kami tumpangi. Jika musim kemarau kita harus berhati-hati agar tak terpeleset terselip oleh pasir pantai yang cukup banyak. Jika musim hujan kita harus berhati-hati agar tak terjerumus ke dalam lumpur. Dan kami adalah salah satu korban yang terjebak ke dalam lumpur tersebut, haha...

Begitu kami tiba di Penangkaran penyu Pangumbahan, kami bertemu pak Asep, penjaga penangkaran tersebut. Kami lantas membarat 5000 rupiah sebagai retribusi, lantas kami mengobrol sebentar dengan pak Asep. Beliau menyayangkan kami datang tidak saat sore atau malam di mana kami bisa melepas penyu atau melihat penyu bertelur. Lantas beliau pun mengeluarkan baskom berisi sejumlah anak-anak penyu,“biar kalian bisa foto-foto”, kata Pak Asep. Ah, pak Asep tahu saja kebutuhan kami, hahaha...

Penyu memang unik, setelah bertahun-tahun dilepas di lautan luas, ia akan kawin dan bertelur di pantai yang sama. Setelah bertelur pun nantinya penyu tersebut akan kembali ke pantai yang sama untuk bertelur lagi. Jika ingin melihat penyu bertelur di malam hari, tidak diperbolehkan membawa senter atau sumber cahaya lain. Selain itu, datangnya penyu tak dapat diterka, kadang jam 12 malam, atau kadang kita harus menunggu hingga jam 3 pagi!

Menurut cerita Pak Asep, Penangkaran penyu Pantai pangubahan sebenarnya mulai berada di bawah Departemen Kelautan dalam beberapa tahun terakhir ini. Padahal Penangkaran ini sesungguhnya telah berdiri sejak 30 tahun yang lalu namun dipegang oleh swasta untuk keperluan jual beli telur penyu. Sekitar tahun 90an, mulai dilakukan penangkaran sekitar 50% dari telur penyu yang ada, sementara 50% yang lain diperjualbelikan. Sejak beberapa tahun yang lalu jual beli telur penyu mulai dilarang demi mencegah kepunahan, dan akhirnya penangkaran penyu Pangubahan pun berada di bawah departemen kelautan dan penangkaran telur penyu dilakukan 100%. Bahkan dapat dibilang penangkaran penyu Pangumbahan ini termasuk yang terbaik dan akan dijadikan model bagi penangkaran penyu di daerah lain di Indonesia.

Setelah puas bermain-main dengan anak penyu, saya dan Agra sempat mampir ke Pantai Pangumbahan itu sendiri. Dan pantai ini sendiri memiliki pasir putih dan jauh lebih bersih dibandingkan pantai-pantai lain di sepanjang Ujung Genteng. Kalau sudah ke penangkaran penyu dan Pantai Pangumbahan, saya tak perlu takut lagi jika nantinya saya mati penasaran, hahaha...




Sepanjang Ujung Genteng

Sepulang dari Curug Cikaso hari sudah mulai sore. Saya dan Agra pun menuju Ujung Genteng. Jangan harap sepanjang perjalanan kami melihat pemandangan matahari senja, karena cuacanya sedikit mendung. Pertanda akan turun hujan nanti malam. Padahal kami berencana ingin melihat penyu bertelur di Penangkaran Penyu nanti malam.

Kami menginap di Losmen Deddy seharga IDR 150.000 per malam berupa pondok satu kamar untuk dua orang dengan kamar mandi di dalam. Harga awalnya lebih mahal, tetapi karena Agra sebelumnya pernah menginap di Losmen ini, dia pun bisa menawar hingga 50%!

Sebelum malam, kami sempat bermain-main di pantai karang Ujung Genteng. Maksud hati ingin mendapat senja, apa daya mendung menghadang. Kami pun bermain dan mengambil gambar ala kadarnya.

Kami makan malam dengan mie rebus di warung mi depan losmen. Dan sepertinya ini akan menjadi makanan kami hingga besok, karena harga warung nasi dengan ikan di daerah ini tidak murah. Sementara malamnya hujan deras. kami pun tak jadi melihat penyu bertelur di penangkaran penyu. Lantas apa yang kami lakukan? Mbathang di kamar bermain hape sepanjang malam. Menyesal saya tidak membawa semacam buku bacaan...

***
Pantai Ujung Genteng cukup panjang. Membentang dari Dermaga Tua hingga Cibuaya. Kontur dari pantai Ujung Genteng sendiri cukup beragam. Ada yang berupa pantai landai dengan pasir yang cukup putih, ada pula yang banyak karang, bahkan kita bisa bermain hingga ke tengah.
Maka hari berikutnya kami habiskan untuk bermain-main di sepanjang pantai Ujung Genteng. Paginya, setelah kami sarapan dengan nasi kuning dan sepotong tahu, kami segera menuju Dermaga Tua.

Dermaga Tua buat saya cukup menarik, entah mengapa. Mungkin karena reruntuhan sisa dermaga yang bercampur dengan pantai membuat area ini sangat menarik untuk dijelajahi. Apalagi didukung dengan langit pagi yang cerah, tempat ini pun menjadi cukup sempurnya untuk diambil beberapa gambarnya.

Dari Dermaga Tua ini kita bisa melihat dua sisi Ujung Genteng, sisi sebelah barat yang berupa pantai, dan sebelah timur yang terdapat kampung nelayan dan pelelangan ikan. Cukup banyak nelayan yang mencari ikan di sekitar area Dermaga Tua ini. Mereka juga bisa memancing di ujung dermaga yang menjorok ke tengah laut. Sementara saat saya ingin ke ujung dermaga, saya terhalang oleh reruntuhan dermaga yang cukup licin.


Sepulang dari dermaga tua, kami menyusuri pantai Ujung Genteng menuju Pantai Cibuaya. Ini juga merupakan perkampungan nelayan. Kami sempat mampir ke warung kopi sebentar, sementara Agra sempat mengobrol dengen beberapa warga di warung kopi. Sekedar mengetahui jalur ke Penangkaran Penyu dan beberapa tempat menarik lainnya.

Cukup mengasyikkan menghabiskan waktu sekitar pukul sepuluh siang dengan minum kopi di Kampung Nelayan Cibuaya.

***
Siangnya kami sholat Jum’at di sebuah masjid di dekat pelelangan ikan. Namun kami telat, Sholat Jum’at telah selesai dan kami pun hanya sholat Dzuhur. Setelah ini kami berencana beristirahat sebentar, dan sorenya akan kami berencana ke Penangkaran Penyu untuk melepas anak penyu, dan malamnya kami berencana menyaksikan penyu bertelur di Pantai Cibuaya.

Tapi semua rencana tersebut dalam sekejap berubah menjadi kentut. Hujan deras melanda Ujung Genteng dari sore hingga malam. Saya benar-benar mbathang di kamar. Mau apalagi, ini resiko melakukan perjalanan musim hujan...

Cuaca Cerah Curug Cikaso

Saya dan Agra tiba di desa Surade pukul dua siang. Setelah makan siang di sebuah warung, kami memutuskan untuk mampir ke Curug Cikaso yang berada sekitar 10 km dari Desa Surade. Pertimbangan kami, selain waktu masih jauh dari senja, langit juga tidak terlihat mendung. Sebuah kondisi cuaca yang jarang dijumpai saat musim hujan. Jadilah kami merasa saat itu merupakan waktu yang tepat untuk mampir ke Curug Cikaso.

Saat tiba di pintu masuk, kami tidak langsung dihadapkan pada lokasi Curug, tetapi ada dua pilihan jalan yang bisa dilakukan, apakah berjalan kaki sekitar 10 menit melalui jalan setapak di sawah, atau menyewa perahu untuk menyusuri sungai Cicurug seharga IDR 80.000/kapal dengan kuota maksimal 12 orang. Tentu saja kami awalnya memilih menyusur jalan setapak karena harga kapal yang tak masuk akal jika hanya ditumpangi kami berdua. Tetapi setelah para ojek kapal membujuk dengan harga 35.000 untuk kami berdua, kami pun terbujuk dengan rayuannya. Alasan saya sendiri, sih, saya penasaran dengan suasana menaiki kapal menyusuri sungai Cicurug.

Oke, sangat menyenangkan menyusuri sungai Cicurug yang hijau dan dengan hutan di kiri-kanan sungai. Tapi yang membuat saya gondok setengah mati, ternyata jarak dari pintu masuk menuju Curug Cikaso hanya ditempuh selama 1 menit saja. Mau tak mau jika dibandingkan dengan harga perahu yang kami bayarkan tadi, ternyata sangat mahal!

Curug Cikaso merupakan air terjun yang bersal dari sungai Cicurug (ci berarti sungai, curug berarti air terjun), tetapi banyak orang yang menamainya Curug Cikaso karena aliran air terjun ini akan bertemu dengan sungai Cikaso yang lebih lebar.

Jika diperhatikan, Curug Cikaso termasuk tipe air terjun yang cukup lebar yang terdiri dari tiga bagian air terjun. Tingginya sendiri sekitar 30 meter. Menurut informasi dari pak Mumuh, yang tadi mengantarkan kami lewat kapal, Curug Cikaso sendiri baru mulai ramai dikunjungi pada sekitar tahun 2006. Dan baru-baru ini pemerintah daerah mulai mengembangkannya menjadi objek wisata dengan cara memperbaiki jalan dan mempermudah akses menuju Curug Cikaso.

Bahkan saat kami berada di lokasi curug tersebut, Pak Mumuh yang ternyata juga menjabat sebagai ketua paguyuban yang mengelola Curug Cikaso, sedang membangun semacam pos penjagaan di dekat area curug yang nantinya akan berfungsi sebagai pengawas keselamatan para wisatawan.



Sebelum kami pulang, kami sempat mampir ke kantor Paguyuban Pengelola Curug Cikaso. Mereka menjelaskan bahwa sebenarnya mereka memiliki sebuah paket perjalanan dengan perahu yang lebih jauh dan lebih mahal. Paket tersebut adalah mengunjungi Curug Cikaso, Gua Aul (gua yang katanya masih belum banyak dikunjungi dan cukup bagus), Hulu sungai Cikaso, dan Muara Cikaso. Dengan kuota maksimal 12 orang, per perahu dipatok seharga IDR 600.000. Ada yang berminat?

Jumat, 19 Februari 2010

Prolog: Road to Ujung Genteng

Saya tadinya tidak merencanakan liburan apa-apa. Tidak dengan kakak saya, tidak dengan CLR, atau dengan teman-teman lain. Sudah terbayangkan saya akan bersantai di rumah sambil makan masakan mama. Namun entah mengapa, setelah melihat hasil tabungan yang dirasa ‘cukup’, saya memutuskan untuk melakukan perjalanan. Lagi-lagi tanpa alasan yang pasti, saya ingin ke Ujung Genteng, Jawa Barat. Mungkin karena beberapa bulan sebelumnya saya melihat album kakak kelas saya via facebook yang mendokumentasikan liburannya di Ujung Genteng.


Selanjutnya proses perjalanan pun diwarnai dengan sejumlah kebetulan. Kakak saya akan melakukan perjalanan ke Jawa Barat bersama temannya, Nuran. Sehingga kakak saya pun mendukung rencana saya mengunjungi Jawa Barat dengan harapat nantinya akan menghasilkan sebuah e-book bersama.


Saat ingin ke Bandung, kebetulan teman SMA saya yang berkuliah di seni rupa ITB sedang menggelar karyanya di sebuah pameran di Jogjakarta, sehingga kami bisa ke Bandung bersama dengan kereta api ekonomi Pasundan.


Sedangkan kebetulan yang terakhir, awalnya saya ingin sekedar menanyakan informasi tentang Ujung Genteng kepada teman saya, Agra. Namun ternyata dia malah ingin ikut dan menawarkan saya untuk naik sepeda motor berdua dengannya. Tentu saja bagi saya ini sebuah kebetulan yang sangat manis.

***

Perjalanan Bandung-Ujung Genteng menggunakan sepeda motor bukanlah perjalanan yang singkat. Dengan menggunakan sepeda motor perjalan tersebut menghabiskan waktu hingga 9 jam! Kami berangkat dari Bandung begitu selesai sholat subuh, dan baru mencapai desa Surade pukul 2 siang.


Untungnya sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang menarik di sekitar Padalarang. Perbukitan kapur yang pada pagi hari masih terdapat sedikit kabut mengingatkan saya pada lukisan-lukisan Cina. Pada daerah ini banyak terdapat penjual oleh-oleh khas bandung. Saya sempat penasaran dengan Ubi Cilembu yang katanya rasanya manis. Tapi sayang saya tak sempat mampir.


Di pinggiran Cianjur kami menyempatkan diri mampir ke sebuah warung kaki lima yang menjual bubur. Dan saat selesai menyantap bubur ayam tersebut, saya dan Agra sepakat bahwa bubur tersebut kami beri nilai lima jempol! Kami sendiri juga tak tahu kenapa. Yang pasti berbeda dengan bubur ayam Jakarta atau bubur ayam Jawa. Mungkin karena kuahnya gurih seperti kuah soto. Setelah memasuki kota Cianjur, kami menemukan banyak penjaja bubur Cianjur. Mungkin bubur yang kami makan tadi bubur Cianjur.


Bubur Ayam Cianjur

Sementara perjalanan dari Sukabumi menuju Ujung Genteng kami menghadapi perbukitan dengan jalanan berkelok dan pemandangan yang sangat hijau. Area ini tiba-tiba mengingatkan saya pada jalan antara kota Malang dengan Pulau Sempu. Miriplah! Hanya saja menurut saya lebih menarik jalan Sukabumi-Ujung Genteng. Karena pemandangan terus berganti. Terkadang hutan pinus, perbukitan biasa, atau perkebunan teh.


Setelah menjalani 9 Jam yang melelahkan, kami pun akhirnya tiba di Desa Surade pada pukul 2 siang. Akhirnya...!

___________________________________________________________________________

Sumber foto: google.com


Senin, 08 Februari 2010

Saya Adalah Pejalan Gagal


Oke, awal liburan ini saya tidak memiliki rencana apa-apa, hingga akhirnya saya memutuskan untuk pergi sendirian ke Jawa Barat dan pergi ke Ujung Genteng. Pertama kali tahu Ujung Genteng dari album facebook salah seorang kakak kelas SMA. Setelah itu saya banyak mendapat informasi dari Kaskus. Dan Alhamdulillah, meski rencana saya cukup dadakan, tapi saya berhasil mencapai daerah tersebut bersama salah seorang teman SMA bernama Agra.


Tapi sayangnya, saya tidak akan menceritakan lebih jauh tentang Ujung Genteng, melainkan curcol mengenai hikmah dari perjalanan ini.


Kabar baiknya, untuk sementara saya merasa bangga bisa melakukan perjalanan dan perencanaan awal seorang diri (meski pada akhirnya saya banyak mendapat bantuan dari kawan-kawan). Dan saya bangga. Karena bagi orang yang tidak berprestasi seperti saya, pencapaian-pencapaian informal seperti ini seolah menjadi indikator peningkatan kualitas diri. Dan ketika saya berhasil mencapai Ujung Genteng, tanpa bantuan kakak dan teman-teman CLR yang selama ini banyak membantu saya, saya seolah merasa kemandirian saya naik satu level.



Tapi apakah itu benar?

Karena begitu saya pulang dari Ujung Genteng, saya langsung kembali ke realitas yang sesungguhnya. Saya kedodoran bayar SPP karena bersinggungan dengan perjalanan ini (saya malas cerita detailnya). Dan itu adalah sebuah bukti bahwa saya belum berhasil memilih prioritas dalam sejumlah pilihan.


Yang kedua, pulang dari Ujung Genteng saya sakit seminggu, perut kembung dan maag (sepertinya). Ini menjadi sebuah pertanyaan besar, bagaimana mungkin saya melakukan perjalanan kembali setelah dua kali mengalami sakit pascaperjalanan (sebelumnya saat pulang dari pulau sempu).


Bayar SPP sudah beres dan sakit sudah sembuh. Tapi saya kembali bertanya, apakah saya sesungguhnya telah siap fisik dan mental dalam melakukan setiap perjalanan? Apakah saya benar-benar naik satu level kemandirian dalam perjalanan ini?



Jawabannya: jika seandainya ini adalah sebuah mata kuliah 3 sks, maka saya mendapat nilai E dan saya harus mengulang suatu saat nanti. Perjalanan ini tak lebih dari sebuah perjalanan yang kekanak-kanakan. Perjalanan ini gagal membawa saya menuju pribadi yang lebih baik. Saya, untuk sementara ini, adalah pejalan gagal.


Pfffhhh.... lelah sekali. Tapi setidaknya untuk mata kuliah Dasar-Dasar Mengambil Hikmah saya dapat nilai A, hehehe...


Kamis, 14 Januari 2010

I’m Lostie, Gleek, and True Blood Sucker!

Mau sebagus apapun orang merekomendasikan film Avatar, saya belum ada gairah untuk menontonnya di bioskop atau menyewa filmnya di rental. Tidak, saya tidak membencinya, saya bahkan berjanji suatu saat saya harus menonton film berbujet termahal sepanjang sejarah tersebut. Tapi nanti, hingga penyakit saya sembuh. Karena jika saat ini Anda mengajak saya berbicara soal film, saya bagaikan (maaf) kemaluan yang sedang lemas. Tidak ada gairah sama sekali.

Ada salah satu film yang direkomendasikan teman saya, Farrah, berjudul 500 Days of Summer. Saya telah mendapatkan film tersebut. Tapi sayang, 5 menit pertama saya menguap. Sekali lagi bukan karena filmnya buruk. Tapi saat ini saya lebih tertarik menonton serial TV daripada film. Tapi tenang saja, film tersebut hingga saat ini masih saya simpan hingga nanti saya dapat mood untuk menontonnya.

Oke, saya sendiri baru mengenal serial TV sekitar tahun 2007, dimulai dari Heroes dan Prison Break, dua buah film yang menurut saya sama-sama bagus di season awalnya saja. Selanjutnya saya mencoba mengikuti beberapa serial, hingga puncaknya tahun 2009 kemarin, di mana saya semakin candu mengeksplorasi sejumlah serial dan semakin diperburuk dengan teman saya, Ian, yang banyak merekomendasikan sejumlah serial TV.

Saya kangen dengan gairah menonton film dan membuat resensinya di blog ini. Maka saya pun memutuskan hanya mengambil tiga, dan hanya tiga, serial yang mungkin benar-benar saya ikuti. Sisanya saya tinggalkan. Berikut tiga serial tersebut berikut ulasannya:


Main Title:
Lost
It’s all about: survival adventure/mysteries, mythologies and philosophies/science fiction/conspiracy/characterical drama

Mengisahkan tentang jatuhnya pesawat Oceanic 815 di sebuah pulau terpencil di perairan pasifik. Sejumlah penumpang yang selamat harus mampu bertahan hidup di pulau tersebut. Awalnya hanya masalah internal antar personal seperti masalah kepercayaan antar penumpang, dsb. Tetapi semakin lama muncul sejumlah misteri yang terdapat di pulau tersebut. Hingga akhirnya mereka harus menyadari bahwa jatuhnya pesawat mereka bukan karena suatu kebetulan...

Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya tergila-gila terhadap sebuah serial TV.
Serial ini menyuguhkan segala apa yang saya butuhkan. Drama, Action, Thriller, Mystery, Adventure, sedikit Love Story, dan sedikit bumbu Comedy (yang disampaikan lewat tokoh Hurley), semua seolah dimasukkan ke dalam juicer dan menghasilkan jus yang sangat candu. Tapi interest utama saya ada pada penokohan karakter. Saya adalah tipe penyuka cerita multikarakter, dan setiap karakter dalam Lost memiliki latar yang sangat menarik dan disajikan dengan gaya flashback (dan flasforward).

Hasilnya sejumlah nominasi pada Golden Globes dan Emmy Awards, dan memenangkan Golden Globes kategori best TV Series - Drama di tahun 2005.Jika belum cukup, Majalah Time memasukkannya dalam list 100 serial terbaik sepanjang masa. Serial ini pun memberi sejumlah inspirasi bagi saya. Bahkan mempengaruhi saya dalam menyusun resolusi tahun 2010. Yup, salah satu resolusi 2010 saya adalah melihat Final Season dari serial Lost, dan semoga serial ini berakhir dengan sangat baik, Amin, hehehe...

***

Main Title: Glee
It’s all about: Looser Comedy/High (S)Cool Musical/Minority and Discrimination Issues/Popular Songs/Some unusual coreography

Serial ini mengisahkan tentang seorang guru bahasa Spanyol bernama Mr. Schuester yang ingin mendirikan kembali kejayaan Glee Club (Klub Paduan Suara). Namun sayang, selain hanya sedikit pendaftar, yang ikut pun adalah mereka yang sering dicap sebagai looser. Belum lagi pembimbing club Cheerios bernama Ms. Sylvester yang berusaha menghancurkan Glee Club karena berebut dana dari sekolah. Lantas, jangankan mengikuti lomba tingkat regionals, bahkan mereka pun harus berjuang keras untuk lolos di tingkat sectionals!

Ceritanya mungkin cukup ringan, namun tetap berisi karena banyak isu minoritas yang diangkat, sehingga ada banyak pesan yang diambil. Selain itu, pada episode kedepannya konflik-konflik yang ada pun semakin berkembang. Kalaupun seandainya penonton merasa tidak nyambung dengan komedinya, serial ini masih layak tonton karena menyuguhkan aksi-aksi musikal yang cukup banyak disukai, apalagi karena berdasar lagu-lagu yang pernah populer. Koreografinya pun sangat memanjakan mata. Hasilnya, di musim pertamanya ini Glee langsung mendapat nominasi best TV Series - Comedy or Musicals dalam ajang Golden Globe!

Saya sendiri punya beberapa aksi musikal favorit dalam serial ini. Sebut saja Rehab-nya Amy Winehouse yang dinyanyikan ulang oleh Vocal Adrenaline, Somebody To Love-nya Queen yang dinyanyikan ulang oleh New Directions, hingga I Just Wanna Sex You Up yang dinyanyikan ulang oleh Acafellas.
Kalau saya harus memilih bergabung antara para remaja populer dalam High School Musical atau para looser dalam Glee, tentunya tanpa berpikir panjang saya langsung memilih Glee!

***

Main Title: True Blood
It’s all about: More Bloods/Vampires and other mythology creatures/Sex, sex, and sex/Religion/Politics/and some discrimination issues

Diangkat dari sebuah novel berjudul The Southern Vampire Mysteries, dikisahkan telah ditemukan sebuah inovasi berupa darah sintetis bernama True Blood, maka vampire dan manusia pun dapat hidup bersama. Namun dalam kenyataannya tetap saja ada vampire yang haus akan darah segar manusia. Sementara ada manusia yang butuh darah vampire (V) sebagai drugs atau obat kuat. Konflik ini pun bersinggungan dengan kisah cinta antara pelayan bar bernama Sookie Stackhouse dengan vampir berumur 1 abad lebih bernama Bill Compthon. Bagaimanakah hubungan vampir-manusia dalam waktu kedepannya?

Berbanding terbalik dengan Twilight, serial ini sangat banyak mengumbar darah dan unsur-unsur seksualitas yang dibawakan dengan cukup artistik.
Alur ceritanya pun semakin membaik di season 2. Sejumlah isu diskriminasi, politik, hingga agama pun sebenarnya mendampingi serial ini. Namun masih dibawakan secara halus dan belum banyak digunakan. Kesuksesan serial ini dapat dilihat lewat nominasinya dalam Golden Globe dan Emmy Awards yang diperoleh dalam 2 season penayangannya ini.

Hal-hal yang menarik bagi saya adalah saat melihat hubungan seksual antara vampire dengan manusia yang belum lengkap tanpa ritual blood-sucking. Saya juga berharap pertarungan politik antara gereja Fellowship of the Sun dan Vampire Leagues of America lebih diperlihatkan di season selanjutnya. Dan maaf sekali bagi Anda para penggemar Twilight (no offense!), karena saya merasa para vampir di Twilight harus banyak belajar dengan para vampir dalam True Blood, bagaimana caranya menjadi vampire sejati. Yang penuh darah, tentunya!

***

Tiga serial telah saya pilih. Dan saya harus meninggalkan sejumlah serial lain. Selamat jalan ibu-ibu stress di Desperate Housewives dan Cougar Town, para keluarga di Modern Family, pahlawan-pahlawan di Heroes, serta orang-orang yang melihat masa depan di Flash Forwards! Semoga saya kembali bergairah menonton film...

foto by: google