Minggu, 02 Oktober 2011

Mengejar TAR





Kontestan TAR 19, google


Senin, 3 Oktober 2011. 01:38 WIB

Seperti mimpi rasanya ketika mengetahui sebuah acara kompetisi keliling dunia bernama TAR (Yup, inisial saja, ya!) ternyata melakukan kunjungan ke Indonesia. TAR yang dimaksud adalah TAR original yang berasal dari Amerika, yang selama 18 season telah mengunjungi berbagai negara termasuk negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, atau Thailand, namun sama sekali belum pernah mampir ke negara kita. Tapi tak tanggung-tanggung, TAR kali ini mampir ke Indonesia sebanyak 2 leg sekaligus! Dan seperti mimpi, kota yang beruntung dihampiri adalah D.I. Yogyakarta, di mana saat itu saya tengah berada di sana, dan... yup! Saya berkesempatan membuntuti mereka.

Saya tulis pengalaman saya ini hanya beberapa jam sebelum jadwal tayang di Amerika, sehingga cerita ini hanya punya waktu kurang dari satu hari untuk menjadi sebuah spoiler, sebelum akhirnya menjadi cerita basi.

Jadwal tayang di Amerika adalah Minggu 2 Oktober 2011 pukul 8 malam (Waktu Indonesia: sekitar Senin, 3 Oktober 2011 pukul 8 pagi). Dan di Indonesia bisa dilihat di AXN, Senin, 3 Oktober pukul 6 sore.

Awal Mula

Saya mendapat informasi kalau salah satu teman terdekat saya hampir ikut berurusan dalam tim produksi lokal yang akan membantu dalam proses penyutingan TAR di Yogyakarta. Tapi sayangnya segala informasi tertutup rapat. Sementara yang saya dengar dari teman saya tersebut, katanya TAR yang akan berkunjung adalah TAR Asia. Mereka akan berkunjung pada tanggal 22-23 Juni. Tapi sama sekali tidak diberitahu rute-nya. So, tetep saja mengandalkan keberuntungan.

Tapi memang dunia Internet penuh keajaiban. Melalui salah satu forum komunitas no.1 di Indonesia, saya  pun mendapatkan banyak Informasi. Teman-teman forum biasanya mendapatkan informasi dari forum luar negeri yang mengkhususkan untuk melacak jejak dalam proses produksi TAR. Nah, dari forum tersebut, mereka mendapatkan informasi kalau setelah leg pertama di Taipei, Taiwan, seluruh tim memesan tiket pesawat menuju ke Jakarta, Indonesia. Ada kabar kalau mereka ke Jakarta cuma mampir, dan tujuan mereka sebenarnya adalah ke Yogyakarta. Deg! Jangan-jangan yang dimaksud teman saya tadi bukan TARAsia, tapi TAR.

Teman-teman forum di Jakarta yang menjadi fans berat dari acara ini pun segera bersiaga. Mereka pun mengejar TAR mulai dari Soekarno Hatta hingga ke Stasiun Gambir. Di Stasiun Gambir, lantas mereka memberitahu kalau mereka naik kereta sore, yang kemungkinan adalah kereta eksekutif Bima/Taksaka/Argo Lawu. Ada juga info juga kalau mereka akan ke hotel Bukit Indah, yang setelah kita caritahu, ternyata posisinya ada di Bukit Bintang Wonosari.
Setelah kereta yang ditumpangi peserta TAR berangkat dari Gambir, saya bersama kedua teman saya di forum bersepakat untuk bertemu di Stasiun Tugu pada malam harinya.

Leg 2: Yogyakarta, Indonesia – Tugu Station

Saya bersama dua teman forum saya akhirnya bertemu di Stasiun Tugu pada pukul  11 malam. Di sana, kami telah melihat sejumlah kru lokal yang tengah bersiap dalam melakukan pengambilan gambar. Salah satunya ada kameramen lokal, sejumlah anak-anak muda yang mungkin jadi EO atau LO nya, serta sejumlah bule yang sibuk mondar-mandir sambil memegang HT.

Sambil menunggu, kami bertiga mengamati para kru yang tengah bekerja. Sesekali kameramen mengambil gambar dari berbagai sudut. Dan kru-kru lainnya mondar-mandir tak jelas. Sesekali kami berusaha mencari informasi lebih lanjut. Kedua teman saya berhasil “nguping” beberapa kru bule yang sedang bercakap, dan mereka mendapatkan informasi kalau negara yang dikunjungi setelah Indonesia adalah negara yang “memiliki pantai yang indah”. Informasi seperti ini mungkin terdengar sepele, tetapi menjadi barang penting setelah dilempar ke forum nasional atau bahkan nantinya juga akan dilempar ke forum internasional tadi.

Sementara saya sendiri sempat berbicara kepada salah satu kru. Dari sana, saya berhasil mendapatkan clue kalau besok mereka akan ke daerah Jomblang (yang selanjutnya saya baru tahu kalau di sana ada goa), ke malioboro pukul 10, serta saya juga sempet denger kalau mereka mau ke Tugu. Saya bahkan sempat meminta nomor hape kru tersebut, yang ternyata nantinya sangat bermanfaat untuk mengetahui rute dan lokasi selanjutnya. Saya sempat berfikir kalau kru ini memberikan informasi palsu kepada saya. Namun ternyata saya salah.

Kami menunggu kereta datang cukup lama. Kereta Bima yang kami pikir mengangkut mereka telah datang. Namun ternyata itu bukan kereta yang ditumpangi. Akhirnya pada pukul 01.45, kereta Gajayana datang dari kejauhan. Kali ini kami yakin ada kontestan TAR di dalamnya. Karena jelas-jelas mereka semua telah bergelantungan di pintu kereta dan bersiap-siap untuk turun ketika kereta berhenti. Deg! Jantung saya berdegup kencang. Apa yang akan terjadi ketika kereta ini berhenti?

Kereta pun berhenti. Dalam waktu sekejap, para kontestan yang telah siap langsung melompat keluar. Mereka berlari menuju ke arah pintu keluar. Suara berisik yang mereka timbulkan sanggup membuat seluruh penghuni stasiun menorehkan perhatian kepada mereka. Di belakang mereka, segerombol kameramen dan juru suara turut berlari mengikuti tim-nya masing-masing. Saya pun turut merekam mereka dengan kamera hape saya sambil berlari. Begitu pula dengan kedua teman forum saya, mereka juga ikut lari mengejar. Di parkiran stasiun tugu, para kontestan berlomba untuk mendapatkan taksi yang akan mengantarkan mereka ke lokasi selanjutnya. Saya siap merekam kejadian itu ketika akhirnya salah sorang kru lokal menegur saya untuk tidak mengambil gambar apa-apa. Saya dan kedua teman saya pun hanya bisa menyaksikan mereka masuk ke taksi masing-masing hingga meninggalkan stasiun tugu.

Leg 2: Yogyakarta, Indonesia – Goa Jomblang 

Berdasarkan informasi sebelumnya, kami tahu kalau mereka pergi menuju Hotel Bukit Indah di Bukit Bintang, Wonosari. Tapi kami memutuskan untuk tidak mengikuti mereka. Selain lokasinya yang terlampau jauh buat kami, waktu juga telah menunjukkan dini hari, dan kami pun memutuskan untuk pulang dan tidur.

Kami menduga, mereka ke Bukit Indah untuk mengambil clue dan dilanjutkan ke Goa Jomblang seperti yang dikatakan seorang kru tadi. Kemungkinan mereka akan melakukan Roadblock/Detour, dan sepertinya akan ada hour of operation (Yang tidak mengikuti TAR pasti akan bingung dengan istilah-istilah ini!)

Leg 2: Yogyakarta, Indonesia – Malioboro, Keraton (Pit stop)

Paginya, saya pergi ke daerah Malioboro. Saya berusaha mencari-cari di mana para kontestan TAR. Namun Malioboro cukup luas. Mereka bisa berada di mana saja. Saya juga sempat mencari di daerah Keraton dan tidak menemukannya. Hingga akhirnya salah seorang teman forum saya meng-sms saya kalau mereka sedang mengerjakan task di daerah titik nol.

Setelah saya tiba di sana, ternyata betul. Salah satu tim sedang berada di depan gedung presiden dengan sejumlah pengamen Jathilan lengkap dengan kostum dan alat musiknya. Rupanya itu merupakan salah satu task, yang kemungkinan adalah detour. Setiap grup, salah seorangnya diwajibkan menggunakan kostum dan menari Jathilan dan meminta receh dari para pengendara motor yang saat itu sedang berhenti di lampu merah. Sedangkan anggota grup lain sepertinya diwajibkan memainkan alat musik khusus Jathilan.

Teman saya pun memotret dari dekat dengan kamera poketnya. Sementara saya mencoba mengambil gambar dari balik patung sego kucing. Namun sial, ternyata memory card-nya penuh dan saya tidak bisa menghapus isinya karena penting. Kamera yang saya bawa pun tidak bisa digunakan. Ugh!

Saya lupa tim mana saja yang saya lihat sedang mengerjakan task tersebut. Namun ada beberapa adegan yang saya ingat. Saya sempat melihat satu tim terlihat menyerah dengan task tersebut, dan berlari ke arah Malioboro (setelahnya saya baru tahu kalau di Malioboro ternyata ada task detour satunya, yaitu menjadi tukang parkir di depan Mall malioboro). Saya juga melihat ada tim yang naik taksi di depan Benteng Vredenburg dan akan menuju ke lokasi selanjutnya, namun mereka terhalang oleh barisan sekelompok siswa yang sedang berdarmawisata (karena saat itu sedang liburan). Tim lain yang saya ingat adalah pasangan Survivor (Ethan & Jenna). Saya dan seorang teman forum melihat mereka siap pergi dengan taksi dari Vredenburg, namun kembali lagi ke titik nol. Sepertinya ada clue yang tertinggal (adegan ini juga telah muncul di cuplikan episode kemarin). Omong-omong, karena banyak yang parkir di Vredenburg, jangan-jangan di sana ada cluebox-nya?

Saya sempat mengobrol dengan seorang kru yang sedang berjaga di Vredenburg. Dari dia, saya tahu kalau setelah menjalankan detour ini mereka akan menyambangi salah satu panti asuhan Aisyiah, yang setelahnya mereka akan menuju ke pit stop di keraton. Saya dan seorang teman forum akhirnya mencari panti asuhan Aisyah dan menemukannya di daerah barat kompleks keraton. Begitu tiba di sana, kami melihat pasangan Survivor tadi berlari dari arah panti asuhan menuju ke keraton. Dari panti asuhan menuju ke keraton, mereka harus melewati satu jalan lurus di kompleks keraton, namun mereka sepertinya cukup kebingungan. Di jalan kompleks keraton yang menghubungkan antara panti asuhan dengan keraton tersebut, saya melihat sejumlah kelompok berlari-lari. Ada yang searah ada yang berlawanan. Ada yang saling bertegur sapa, tapi kebanyakan menunjukkan aura kompetitifnya.

Bensin saya menipis. Saya dan seorang teman forum saya membeli bensin eceran sejenak. Sambil mengisi bensin, lagi-lagi saya melihat beberapa tim berlari bolak-balik. Pasangan survivor (Ethan & Jenna), dua wanita berambut pirang (Liz & Maire). Saya juga sempat melihat pasangan bapak anak (Laurence & Zac) dan orang tua (Bill Cathy). Sisanya saya lupa.

Yang lucu, ketika para racers sibuk melakukan footrace bolak-balik demi satu miliar dolar, saya seperti kasihan melihat kameramen serta pemegang suara yang mengikuti di belakangnya. Mereka harus berlari bolak-balik sambil membawa kamera yang berat. Bahkan terkadang mereka tertinggal jauh di belakang dari racersnya. Malah saya sempat melihat salah satu kru yang memegang suara naik becak agar tak tertinggal.

Selesai mengisi bensin, saya dan teman saya berpisah. Kami masing-masing mengikuti tim yang berbeda. Teman saya berhasil mendapat informasi kalau ternyata salah satu tim pergi mengunjungi STIKES (yang setelahnya baru kami tahu kalau STIKES dan panti asuhan Aisyah ini berada dalam satu yayasan yang sama). Sementara saya berhasil mengikuti salah satu kelompok ke keraton.

Setiap kelompok masuk ke keraton melalui pintu depan keraton. Pit Stop-nya sendiri sepertinya ada di dalam keraton. Saya tidak berani masuk lewat sana sebab banyak sekali kru TAR berkeliaran di sana. Akhirnya saya dan seorang teman forum saya gagal untuk melihat pit stop beserta sang pembawa acara, Phil Keoghan. Sementara teman saya yang satu lagi berhasil.

Menurut cerita teman saya yang masuk ke dalam keraton, Phil berada di pit stop bersama seorang abdi dalem dan busana khas-nya. Teman saya melihat sampai akhir hingga mengetahui siapa yang dieliminasi. Kata teman saya, Phil Keoghan bersama seluruh kontestan TAR juga sempat melakukan makan siang bareng di daerah keraton.

Kecewa, sih, nggak sempat lihat pit stop dan Phil Keoghan. Tapi saya sudah cukup bersyukur atas kesempatan untuk melihat beberapa proses pengambilan gambar TAR ini.  Terkadang mengingat kejadian ini, membuat saya merenung. Bahwa ternya dalam satu jam episode TAR yang kita lihat di televisi, mengandung sangat banyak kisah di dalamnya. Dan saya pun bisa kembali pulang dengan penuh rasa puas.



Next post: Leg 3 di daerah Borobudur, Magelang, dan sekitarnya. Serta bagaimana tim meninggalkan Yogyakarta. Saya tidak mengikuti langsung ke borobudur. Sehingga mungkin post-nya akan singkat.

Tulisan ini nggak akan di-edit. Kalau ada editan yang perlu, akan ditulis di bawah ini.

Senin, 28 Februari 2011

Toy Story's Story


The King’s Speech boleh berbangga hati mendapatkan gelar Best Picture dalam ajang 83th Academy Awards yang baru dilangsungkan beberapa jam lalu.Yup, they deserved it. Tapi buat saya, diantara 10 nominator Best Picture dalam 83th Academy Awards, film yang paling nyantol di hati saya, ya, Toy Story 3. Sebenarnya tidak ada yang spesial, sih. Sebelumnya sudah pernah ada dua film animasi yang dinominasikan untuk Best Picture, yaitu Beauty and the Beast dan Up. Film sequel pun sebelumnya sudah pernah ada yang dinominasikan ke dalam Best Picture, seperti trilogi The Lord of The Rings atau trilogi The Godfather. 

Tapi tetap saja, buat saya Toy Story 3 tetap menjadi film favorit saya sepanjang satu tahun terakhir. Berikut beberapa alasannya:

1. It’s Disney Pixar’s
Klise memang. Tapi selera saya sudah terlanjur dibentuk sama film-film produksi Disney Pixar. Mungkin satu hal yang saya sukai dari film-film mereka, mereka selalu berhasil membawakan film animasi anak dengan sudut pandang yang sangat dewasa.

Jika saya harus mengurutkan film animasi kesukaan saya berdasarkan rumah produksinya, maka pertama saya pilih Disney Pixar, kedua saya pilih Disney Classic (yang animasi-animasi tahun 90-an), ketiga saya baru pilih Dreamworks, keempat yang lain-lain. Ternyata saya sudah loyal banget ya sama Disney Pixar? Hahaha...

2. Time Consistency
Saya sempat pesimis dan tidak yakin dengan sekuel ketiga dari franchise Toy Story ini. Bagaimana tidak, film ini berjarak 15 tahun dari film pertamanya . Apa nggak terlalu basi, tuh? Hahaha...

Tapi ternyata saya salah, karena film ini ternyata mengambil setting 15 tahun berikutnya. Sesuai dengan waktu kita. Kita bisa lihat di sini si Andy sudah beranjak remaja (mau masuk kuliah). Dan pada bagian awal film diperlihatkan video masa lalu Andy saat ia masih kecil dan bermain dengan mainan-mainannya. Adegan tersebut seolah mengajak kita memutar kembali memori saat kita menonton Toy Story dan Toy Story 2.

Dan tiba-tiba saya langsung merubah pandangan. It’s brilliant (meskipun ini bukan sesuatu yang baru). Saya suka dengan konsep perjalanan waktu ini. Seolah Toy Story franchise terus bisa hadir bersama kita. Perpisahan Andy dengan mainannya seolah menjadi perpisahan Toy Story dengan penontonnya. Bagi saya, Toy Story telah berhasil membuat sebuah tali penghubung kasat mata dengan emosi dan loyalitas penggemarnya.

3. It’s Our Generation Movie
Masih terkait dengan soal setting waktu Toy Story 3 yang berjarak 15 tahun dari versi pertamanya, saya tiba-tiba berfikir bahwa ini adalah film “Generasi Kita”. “Generasi Kita” yang saya maksud adalah generasi yang lahir antara tahun 1985-1995. Mengapa? Karena mereka yang lahir pada tahun tersebut berarti berusia antara 0-10 tahun pada saat film Toy Story pertama diputar. Dan berusia 15-25 tahun Pada saat Toy Story 3. 

Usia Andy pada saat masih kecil di Toy Story adalah mendekati usia para “Generasi Kita”. 15 tahun kemudian, saat Andy mau masuk kuliah di Toy Story 3, para “Generasi Kita” pun ada yang mau masuk kuliah, sedang kuliah, atau baru selesai kuliah.

Yup, Andy adalah representasi dari “Generasi Kita”, dan Toy Story adalah film untuk “Generasi Kita”. Cool.

4. It’s darker than Shawshank Redemption or Prison Break
Salah satu adegan utama dari Toy Story 3 adalah bagaimana Woody dan kawan-kawan berusaha bertahan dari bullying mainan lain serta kabur dari “penjara” Sunnyside. Sudah banyak film yang mencoba mengangkat persoalan kabur dari penjara. Sebut saja Shawshank Redemption atau serial TV Prison Break. Tapi buat saya, bullying yang terjadi di Toy Story 3 jauh lebih kelam dari kedua film di atas. Mengapa? Sederhana saja, mereka semua adalah mainan. Mainan itu bersifat innosenct. Jadi, melihat Ken (Barbie cowok) berjudi di atas mesin penjual snacks, bullying oleh bos beruang jahat, atau adanya penjara dari keranjang mainan, whooa, itu dua kali lebih kelam. Plus, itu semua dilakukan di Taman Kanak-Kanak. Tempat yang seharusnya penuh keceriaan. Jadinya tiga kali lebih kelam.

Masih ingat adegan Woody dkk. hampir kegiling di tempat pembuangan sampah?  Wow, itu terasa kejam mengingat di film ini, semua mainan adalah ‘makhluk hidup’.

5. It tears me up
Pertama, saat flashback cerita si beruang ungu, bayi, dan badut. Bagaimana mereka ‘tidak sengaja’ dibuang oleh pemiliknya. Bagaimana mereka berusaha kembali ke rumah pemiliknya. Bagaimana ternyata pemiliknya telah memiliki boneka pengganti. Saya hampir menangis.

Kedua, saat Andi memberikan semua mainannya ke anak tetangganya. Bagaima ia sempat tidak rela memberikan Woody ke anak tetangganya. Bagaimana ia akhirnya harus melepas semua mainannya. Bagaimana Woody dkk terbangun dan ia bilang “so long, partner” kepada mobil Andy yang mulai menjauh.

Hiks. Saya pun bercucuran air mata. Bahkan saat menonton ulang yang kedua dan ketiga kalinya.

***
Seperti yang saya bilang sebelumnya, film ini cocok dilihat oleh semua umur. Bagi anak-anak, mereka akan membaca film ini sebagai petualangan Woody dkk. dan melihatnya sebagai sebuah pesan moral untuk selalu menjaga seluruh mainannya dengan penuh kasih sayang. Yup, itulah yang akan terlihat oleh anak-anak zaman sekarang, atau, saat “Generasi Kita” menonton Toy Story 15 tahun yang lalu.

Tapi “Generasi Kita” saat ini akan melihat Toy Story 3 jauh berbeda saat 15 tahun yang lalu. Pesan yang kita lihat bukan lagi bagaimana kita harus menjaga mainan milik kita, melainkan, kita seolah disadarkan bahwa 15 tahun telah berlalu dan tanpa sadar, kita bukan lagi berada dalam tahap kanak-kanak. Kita telah menjadi dewasa. Dan kita harus melepaskan masa kanak-kanak kita.

Maka, adegan saat Andy memberikan seluruh mainannya kepada anak tetangganya, menurut saya itu adalah simbolisasi dua hal. Pertama, adegan tersebut seolah mengingatkan bahwa sudah saatnya “Generasi Kita” mulai menjadi dewasa dan melepaskan masa kanak-kanaknya. Kedua, sudah saat nya “Generasi Kita” menjadi generasi yang memberikan sesuatu kepada “Generasi Baru”, bukan lagi generasi yang menerima.

Terasa sangat dalam ketika Woody terbangun dan melambaikan tangannya kepada mobil Andy yang menjauh dan berkata "So long, partner". Seolah mereka juga melambaikan tangannya ke kita untuk berpisah. Maka kita pun juga akan melambaikan tangan kepada film yang menemani kita selama 15 tahun ini, "Yes, Toy Story. It's so long...."

__________________________________________________________________________
Image source: Wikipedia

*Haduh... kapan ya saya mau mulai nulis tentang Lawu? 

Sabtu, 26 Februari 2011

Wildlife Management

Saya tidak pernah bilang kalau saya memiliki passion untuk melakukan outdoor activities. Percayalah kawan, saya adalah 99% anak rumahan, yang bisa bertahan hidup asalkan ada sebongkah televisi berwarna dengan minimal 10 channel dan setidaknya ada 3 jenis snack yang berbeda setiap harinya. Saya ingat betul, terakhir kali saya doing something di luar ruangan adalah saat saya KKN antar semester kemarin. Sisanya selama 6 bulan terakhir ini saya mengejar sejumlah target akademis yang, Alhamdulillah, saya berhasil mencapai target tersebut. Meskipun, sedari dulu saya sangat menyadari bahwa mengejar tujuan akademis bukanlah segala-galanya. Terbukti ada sesuatu yang saya rindukan dalam 6 bulan terakhir ini.

Maka, menjadi sebuah angin segar bagi saya ketika seminggu yang lalu saya mendapatkan ajakan dari teman saya, Munadi, untuk mendaki Gunung Lawu bersama kedua teman saya yang lain, Indra dan Satria. Hell yeah, dengan mantap saya menerima ajakan tersebut. Sudah pasti saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. This will gonna be fun, gumam saya dalam hati. Padahal saya tidak tahu kalau nantinya pendakian ini akan menjadi sebuah mimpi buruk yang menyenangkan.

Pendakian di Gunung Lawu ini akan menjadi pendakian pertama dalam hidup saya. Selain itu, hal lain yang menarik adalah kami berempat (saya, Munadi, Indra, dan Satria) sama-sama berasal dari Jurusan Manajemen, namun masing-masing dari kami mewakili empat konsentrasi yang berbeda. Saya sendiri dari manajemen pemasaran, Munadi dari manajemen keuangan, Indra dari manajemen sumber daya manusia, dan Satria dari manajemen operasi. Sepertinya akan sangat menarik jika melihat pendakian ini dari masing-masing perspektif konsentrasi yang kami ambil. Terkesan lebay mungkin. Tapi, hey, kami berempat adalah mahasiswa tingkat akhir yang tak lama lagi akan memasuki kejamnya dunia yang sebenarnya. Jadi tak ada salahnya kami menjadikan pendakian ini sebagai pijakan awal untuk menuju ke sana, bukan?

Pendakian ke Gunung Lawu ini hanya memakan waktu 3 hari 2 malam (20-22 Feb 2011). Namun entah mengapa bagi saya itu menjadi perjalanan yang panjang. Sehingga saya berencana menuliskan pendakian ini ke dalam empat bagian cerita pendek. Cerita, lho, bukan artikel perjalanan. Jadi jangan kaget kalau nanti tulisan saya cenderung deskriptif daripada informatif.

Part 1: Minggu, 27 Feb 2011
Part 2: Senin, 28 Feb 2011
Part 3: Selasa, 1 Mar 2011
Part 4: Rabu, 2 Mar 2011

Sepertinya ini akan terasa berat bagi saya. Sudah sekian minggu saya tidak menulis blog. Apalagi belakangan ini saya diserang penyakit malas. Skripsi tak kunjung dimulai (baru minggu depan), malah maraton nonton How I Met Your Mother. 

Tak apalah, saya coba saja. Sepertinya akan menjadi cerita yang panjang...



Jumat, 21 Januari 2011

Jajanan Pasar


source: google

Ada yang menarik pada topik utama Kompas hari minggu kemarin. Mereka mengangkat tema jajan pasar sebagai topik feature utama. Bagi saya topik tersebut sangat istimewa, karena saya sendiri adalah penggemar berat jajan pasar. Tidak percaya? Ajak saya ke pasar terdekat. Pasti dengan mudahnya saya mencomot jajanan pasar yang ada, hehe...

Jika saya telusuri, ternyata kebiasaan makan jajanan pasar tumbuh dari waktu sarapan pagi saya. Hampir setiap pagi ada tukang sayur langganan lewat di depan rumah. Ibu selalu berbelanja bahan masakan dan bumbu dapur untuk menu sehari, plus sejumlah jajan pasar sebagai teman sarapan pagi. Tradisi secangkir kopi atau segelas susu plus jajanan pasar merupakan salah satu yang saya rindukan jika saya pulang kampung saat libur kuliah.

Di jogja, saya sendiri jarang makan jajanan pasar. Tapi saya selalu menyempatkan beli satu-atau dua potong saat saya ke kantin Fisipol atau ke bonbin. Pernah suatu kali saya bersama seorang teman rela ke Pasar Kranggan untuk membeli jajanan pasar. Dengan bermodal uang sepuluh ribu, kami mencomot sekitar 7-8 jajanan pasar. Saya puas.

Bagi saya, jajanan pasar itu unik dan eksotis. Saya suka bentuknya yang aneh-aneh. Rasanya juga aneh, tapi enak. Selain itu, bentuknya yang kecil membuat gampang habis sekali makan. Jajan pasar favorit saya diantaranya kue isi kacang hijau (saya tidak tahu namanya), klepon, kue lupis, dan kue kukus. Saya kurang suka jajanan pasar yang dibuat dari ketan, khususnya wajik, bagi saya makan ketan itu terasa penuh dan membosankan.

Saya nggak mau sok nasionalis dengan mengatakan jajanan pasar sebagai bagian dari tradisi, bla, bla, bla. Tapi saya akui kalau memang pada dasarnya jajanan pasar itu enak. Jauh sebelum kafe modern menyajikan roti yang di dalamnya ada coklat meleleh (apa, ya namanya?), kakek nenek kita sudah menerapkannya dalam klepon. Hey, gula jawa yang meleleh dalam bola bulat yang ditaburi serutan kelapa itu lezatnya eksotis, lho! Hahaha...

Akhir kata, ayo ke pasar. Bawa uang sepuluh ribu. Dan comot jajanan pasar.