Rabu, 25 Maret 2009

Bercinta dengan Dieng

Photo by: Mas Jo, Wana, Koplak
Text & Editing: Navan

____________________________________________________________________

Ke mana Anda ketika valentine 14 Februari 2009 kemarin? Apakah dinner dengan pasangan, menonton film romantis, atau hanya melewatkan waktu berdua dengan sekedar mengobrol dengan pacar? Maafkan jika tulisan ini mengganggu para Jomblo yang menghabiskannya dengan sekedar menonton DVD atau menghabiskan malam minggu dengan guling di kamar. Saya tidak bermaksud mendiskriminasi, karena saya sendiri seorang Jomblo, yang dengan beruntung berkesempatan menghabiskan malam Valentine di Dieng Plateau, Wonosobo, Jawa Tengah.

Tentu saja saya tidak sendiri. Saya ditemani oleh teman-teman saya yang jomblo, yaitu: Mas Re, Mas Jo, Mas Pras, Adi Koplak, Zulfan, Wana. Iqbal tidak termasuk hitungan karena ia bukan Jomblo, tetapi malah menduakan sang pacar dengan memilih bercinta dengan Dieng. Kasihan yang punya pacar seorang Iqbal! Hehehe...

Perjalanan ke Dieng dimulai pada tanggal 13 Februari pukul 16.00, ngaret sekitar 2 Jam dari rencana semula karena Mas Jo ada kesibukan penting. Sehingga perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh sekitar tiga jam, jadi terhambat karena hari mulai malam dan tidak ada yang tahu pasti jalan menuju Dieng. Belum lagi Zulfan, Wana, Adi Koplak, dan saya sempat nyasar ke arah Semarang. Pantat yang terasa panas karena lamanya perjalanan pun akhirnya bisa diistirahatkan sejenak di warung mie ayam. Hujan deras yang menemani kami sepanjang perjalanan semakin menambah lezatnya mie ayam. Apalagi ini gratis traktiran Mas Jo!

Kami baru sampai di Dieng pukul 11 malam. Untuk mendapatkan kamar kami harus menggedor pintu penginapan karena penjaga penginapan telah tidur. Tetapi akhirnya kami mendapatkan 2 kamar dengan satu bed besar yang cukup didesaki 4 orang seharga 40 ribu rupiah per kamar. Sehingga setiap dari kami cukup membayar 10 ribu per orang. Lelahnya!

***

Esoknya, kami mengawali pagi hari di Dieng dengan mengejar matahari di bukit (maaf, nama bukitnya lupa, kita namakan saja bukit indah!). Pukul 5 pagi kami berangkat dari penginapan, dan segera bergegas menuju bukit Indah.Tentu saja keterburuan kami memakan korban. Ketika melewati jalan berlumpur, sepeda motor Adi Koplak yang membonceng saya jatuh terpeleset. Bahkan itu terjadi dua kali. Sandal biru yang dibanggakan Adi Koplak selama ini harus terputus sampai di sini. Selanjutnya ia terpaksa bertelanjang kaki.

Tak apalah, toh akhirnya pengorbanan itu terbayarkan dengan indahnya matahari yang terbit di balik gunung Sindoro. Sayang, saya agak melewatkannya. Ketika yang lain bersemangat menaiki jalan setapak, saya lagi-lagi harus berhadapan dengan musuh utama saya, Kolesterol yang menimbun di perut. Sehingga saat saya sampai, matahari telah sedikit tinggi, tapi saya masih bisa menangkap suasananya. Matahri berada di balik gunung Sindoro. Suasanya perbukitan dieng yang hijau. Angin pagi sepoi-sepoi. Sungguh mengesankan!


Perjalanan kami lanjutkan menuju kawah Sikidang, di sini kami hanya melihat layaknya kawah biasa. Di sana-sini ada bau belerang yang menyengat. Asap-asap kawah yang menyembul. Jika berdiri terlalu dekat kawah, mata agak sedikit perih. Selain berfoto, tidak terlalu banyak hal yang berkesan bagi kami. Mungkin karena kesan tersebut kami bandingkan dengan kesan saat matahari terbit tadi. Yang menarik, di sekitar kawah ada aliran air semacam sungai kecil yang sangat bening, yang jika dipadu dengan suasana kawah, menurut saya menjadi nilai plus.


Setelahnya kami sempat berkeliling Dieng sebentar. Siang nanti kami berencana ke telaga warna dan kompleks candi Arjuna, lantas dilanjutkan dengan perjalanan ke Kebumen untuk bermalam di tempat Iqbal, dan kami memutuskan untuk packing dan checkout dari penginapan terlebih dahulu sebelum jam 12 siang.
***

Setelah meninggalkan penginapan, kami langsung bergegas menuju kompleks Candi Arjuna. Eksotika Candi Arjuna menggoda kami untuk berfoto bersama. Secara objektif, Keindahan kompleks Candi Arjuna saya nilai masih kalah sedikit jika boleh dibandingkan dengan pesona kompleks Candi Ratu Boko. Hal ini mungkin dipengaruhi waktu juga. Saya ke kompleks Candi Arjuna ini saat tengah hari, sementara saya ke kompleks Candi Ratu Boko saat sunrise. Tapi faktor lain yang mengurangi pesona kompleks candi Arjuna adalah terhimpitnya kompleks tersebut dengan pemukiman penduduk yang semakin padat. Sungguh sangat disayangkan.

Setelah berpanas-panasan di bawah terik matahari di kompleks Candi Arjuna, suasana berbeda justru kami dapatkan di telaga warna. Kesejukan telaga warna dihasilkan dari rimbunnya pohon di sekitar telaga. Suasana yang begitu hijau membuat kami dengan nyaman berkeliling sekitar telaga warna. Sempat kami membaca brosur yang diberikan penjaga loket telaga warna. Komentar dari wisatawan mancanegara yang tertulis pada brosur itu mengatakan bahwa suasana telaga warna sangat mirip dengan New Zealand. Saya langsung mengiyakan dalam hati. Sekalipun saya baru melihat New Zealand hanya dari televisi!


Kecewa karena gua-gua di sekitar telaga warna ditutup, salah satu dari kami mengusulkan untuk menuju gardu pandang di atas bukit guna melihat pesona telaga warna dari atas. Kami berjalan menuju ke arah bukit, tapi tidak ada tanda-tanda menuju ke atas sana. Ternyata, menurut bapak-bapak yang kami temui, untuk menuju ke atas bukit kami harus ke luar telaga, dan di sana ada jalan menuju ke atas bukit. Saat kami tanya apakah ada jalan alternatif, sang bapak menjawab ‘ada’, dan kami dituntun ke arah jalan setapak di dinding bukit. Saya sendiri sempat khawatir naik jalan tersebut, karena menurut saya itu bukan jalan, tapi PANJATAN! Karena semuanya pada mau ke atas, saya terpaksa mengiyakan juga.

Kekhawatiran saya terbukti. Untuk yang kesekian kalinya, kolesterol menjadi penghalang. Sekali dua kali saya hampir terperosok jatuh, dan si koplak yang kebetulan di belakang saya dengan sigap menahan pantat saya yang empuk tapi berat. Maaf, Plak!!

Sementara saya mengutuk bapak-bapak yang memberitahu jalan tadi. Masalahnya , jalan tersebut semakin ke atas semakin buntu. Mau lanjut, cukup berat. Mau turun, tanggung! Terpaksa Mas Pras, Iqbal, Zulfan, dan lainnya bergantian membuka jalan dengan menebas semak-semak. Zulfan punya pengalaman sendiri dengan batu besar yang terjun bebas di sampingnya, sementara Koplak harus berterima kasih dengan mas Pras yang menemukan kameranya yang jatuh tanpa di sadari.


Setelah bersusah payah memanjat, ketika samar-samar melihat tanah datar kami langsung bersemangat. Yups, puncak bukit telaga warna akhirnya kami capai. Tentu saja hasil yang kami dapatkan bisa mengganti segala perjuangan kami. Bahkan lebih! Kami dapat melihat telaga secara keseluruhan. Warna hijaunya berbaur dengan panorama pepohonan yang mengelilinginya. Dilatari langit mendung yang menandakan akan hujan. Angin segar berhembus di belakang kami. Dalam sekejap segala keringat hilang dengan munculnya perasaan puas dan lega. Berada di puncak bukit telaga warna menurut saya merupakan klimaks dari perjalanan kami di Dieng.



***
Ah, kalau dihitung, tak sampai satu hari kami berada di Dieng. Sementara banyak pesonanya yang kami belum gali. Air terjun, telaga-telaga lain, hingga reruntuhan kolam pemandian kuno. Itulah kelebihan dari sebuah tempat bernama Dieng Plateau. Cukup dalam satu kawasan tersebut, ada berbagai tempat menarik yang layak didatangi. Rasanya jika ingin menggali seluruh Dieng, tak cukup hanya satu hari.

Yang sangat disayangkan, Dieng kini terhimpit oleh laju pertumbuhan rumah penduduk yang semakin tak terkendali. Adapun perluasan ladang membanjiri bukit-bukit di dataran tinggi dieng. Jangan heran jika saat musim hujan terjadi satu-dua kali longsor pada dinding-dinding bukit di Dieng. Selain itu eksploitasi sumber daya alam di Dieng membuat sejumlah pipa-pipa gas dan uap dengan bebas terlihat di sana sini. Tak enak dipandang, beresiko pula. Entahlah, jika masih dibiarkan, pesona alam Dieng akan luntur dimakan waktu. Semoga saja tidak!

Setengah hari berkenalan dengan Dieng sudah cukup membuat saya cinta mati dengannya. saya tak menolak jika suatu saat ada yang mengajak saya bercinta dengan Dieng lagi. Sebab Dieng layaknya seorang putri yang sangat cantik, kita tak akan pernah bosan bercinta dengannya.


____________________________________________________________________
bersambung: bercinta dengan kebumen.

thx buat Mas Re, Mas Pras, Mas Jo, Zulzi, Koplak, Iqbal, Wanarma. perjalanan yang SANGAT menyenangkan! saya sangat merindukan perjalanan seperti ini lagi. kapan kita berjalan-jalan lagi?
buat Mas Jo, Wana, Koplak: maaf, ya foto indah kalian saya edit sembarangan! ^^

Selasa, 17 Maret 2009

The Process, The Answers

Terkadang kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus kita jawab. Mulai dari soal ujian, pertanyaan teman, hingga pertanyaan-pertanyaan renungan hidup. Jika sudah punya jawaban, selamat! Jika belum, bagaimana kita harus mencarinya?

Jamal, tokoh dalam film Slumdog Millionaire memperoleh hadiah 20 juta rupe karena jawaban dari soal kuis ternyata berkaitan dengan proses kehidupannya, takdirnya. Dalam film Little Miss Sunshine, keluarga Hoover mendapatkan jawaban-jawaban tak terduga dalam proses perjalanan mengantarkan Olive Hoover menuju kontes kecantikan Little Miss Sunshine. Sedangkan lewat film Into The Wild, Christopher Johnson McCandless harus menuju Alaska demi memperoleh kebebasan dalam hidupnya, tetapi jawaban hidupnya justru didapatkan dalam perjalanannya menuju Alaska.

Jadi jangan khawatir jika anda sudah berusaha mencari jawaban, tetapi belum menemukannya, atau menemukan jawaban, tapi jawaban yang salah. Sebab jawaban yang sesungguhnya justru terletak di dalam proses ketika anda mencarinya. (sok bijak! Hehehe...)

***
Sebelum kemenangannya dalam oscar memotivasi saya untuk melihat film ini, sebelumnya saya telah sedikit termotivasi dari pemujaan kakak saya terhadap film ini. Pemujaan tersebut terlihat dari cara ia mengutarakan komentarnya di depan saya, hingga tulisan dalam blognya. Fuh... sebagus apa, sih?

Setelah berhari-hari mencari film tersebut di rental Wahana yang berjarak 3 menit dari kos saya (setiap kali ingin meminjam, selalu keluar), saya akhirnya mendapatkannya, dan menontonnya dengan teman kos saya, Wildan.

Slumdog Millionaire yang diangkat dari novel Q&A ini menceritakan kisah Jamal, seorang pegawai telekomunikasi di India yang memenangkan 20 juta rupee dalam acara kuis Who Wants to be A Millionaire. Dengan alur maju mundur diperlihatkan bahwa ternyata jawaban dalam setiap pertanyaan yang dilontarkan berkaitan dengan pengalaman hidupnya selama ini. Mulai saat ia tinggal di pinggiran kota Mumbai, menjadi anak jalanan, bertahan hidup dengan menjadi Guide di Taj Mahal, Keterlibatan kakaknya dengan mafia kota Mumbai, Hingga pencariannya akan wanita yang sejak kecil ia cintai, Latika.

Daya tarik film ini selain cerita yang cukup kuat, juga dikarenakan film ini begitu berani menyoroti realitas kehidupan kota mumbai, mulai kehidupan pinggirannya hingga sisi gelap kehidupan mafia kota Mumbai.

Mungkin karena digarap di tangan seorang sutradara Inggris bernama Danny Boyle, film ini menjadi sangat berbeda dari mainstream film India yang dikenal warga Indonesia selama ini, yang selalu diisi dengan adegan aktor bernyanyi sambil membawa bunga mengejar sang aktris yang bersembunyi di balik pohon.

Saya adalah penikmat drama, sehingga yang berkesan bagi saya adalah adegan terakhir, ketika Jamal bertemu Latika, dan dan ketika Jamal berlari diiringi flashback secara cepat mulai dari masa kecilnya hingga terakhir dia bertemu Latika.

Kakak saya mengutuk adegan penutup yang menari-nari ala India, yang dianggapnya merusak film tersebut. Sementara saya berpendapat lain. Bagi saya film India harus tetap ada adegan tariannya,selama itu sesuai porsi dan dianggap wajar.

Akhir kata, saya memahami mengapa Slumdog Millionaire mendapat 8 Oscar. Saya juga merasa rating 8.5 pada imdb.com adalah nilai yang pantas bagi film ini. Film yang digarap dengan sangat baik. Memiliki alur cerita yang sangat sesuai dengan penikmat drama seperti saya. Hanya saja pemujaan kakak saya terhadap film ini terlalu berlebihan ;)


***


Masih terlintas di benak saya ketika mendengar judul film ini pertama kali. Little Miss Sunshine, sebuah film komedi keluarga, dengan cerita yang cukup dangkal. Anggapan saya tersebut salah besar! Memang film ini memiliki bumbu komedi di dalamnya. Tapi cerita yang dangkal? No, no! Akan ditemui banyak memorable quotes di dalamnya, yang bagi saya cukup mengena.

Film ini mengisahkan tentang Olive Hoover yang akan mengikuti kontes kecantikan anak-anak Little Miss Sunshine. Karena suatu dan lain hal, seluruh keluarga Hoover mengantarkan Olive Hoover menuju California dengan menggunakan mobil VW kuningnya. Anggota keluarga tersebut terdiri dari Olive sendiri, kedua orang tuanya, Richard dan Sheryl, kakaknya, Dwayne, kakeknya, dan pamannya, Frank.

Sementara Olive akan mengikuti kontes Little Miss Sunshine, setiap anggota keluarganya memiliki masalah tersendiri. Richard adalah seorang motivator yang tidak sukses. Sheryl harus mempertahankan keluarganya yang kacau. Grandpa yang meski sudah tua tapi pecandu obat-obatan. Dwayne yang mengambil sumpah diam hingga ia masuk akademi angkatan udara. Dan paman Frank yang homo dan hampir melakukan usaha bunuh diri.

Perjalanan menuju California yang penuh kekonyolan, tanpa disadari juga harus dihadapkan pada kenyataan-kenyataan yang memberi jawaban pada setiap anggota keluarga Hoover. Akankah kenyataan-kenyataan tersebut mampu menyelesaikan permasalahan masing-masing?

Jarang-jarang saya melihat film yang berulang kali saya putar ulang pada adegan-adegan tertentu. Jarang pula saya mengingat pesan yang tertanam dalam sebuah film. Tapi film ini memberi kesan tersendiri bagi saya. Kesan tersebut baik dari fisik filmnya, adegan, tokohnya. Dan juga kesan dari pesan yang disiratkan. Film ini sungguh memberi kesan bagi saya.

Jika saya harus menyebutkan film apa yang paling berkesan dan memorable, secara subjektif saya akan memasukkan film ini ke salah satu daftarnya.

***
Film terakhir adalah Into the Wild. Saya mendapat rekomendasi film ini diantaranya dari Koplak dan Mbak Dini, dua orang yang saya anggap suka berpetualang, sehingga saya bisa menerka sebagian filmnya. Sebelumnya saya juga pernah melihat film ini dibahas di Oprah Winfrey Show. Tapi sebelumnya, karena Into the Wild diangkat dari buku dengan judul yang sama, seingat saya buku tersebut pertama kali saya tahu saat SMA dari teman saya, Wana Darma.

Into the Wild yang berdasarkan kisah nyata ini bercerita tentang seorang pria bernama Christoper Johnson McCandless yang baru saja lulus kuliah dengan predikat yang sangat baik. Namun kekesalannya pada kedua orangtuanya serta kejenuhannya akan kehidupan bermasyarakat, ia akhirnya memilih jalan berkelana menuju Alaska demi memperoleh kebebasan sejati serta merasakan kehidupan liarnya alam.

Saya sempat khawatir jika film ini hanya akan menceritakan kegiatan Chris di alam bebas saja. Jika itu terjadi maka saya sama saja dengan melihat film national geographic saja.

Ternyata tidak. Justru dalam perjalanannya menuju alaska, ia harus berinteraksi dengan sejumlah orang yang memberinya wawasan dan pengalaman baru. Mulai bertemu dengan sepasang suami istri gipsy, bertemu petualang asing yang ingin ke Las Vegas, belajar bertani dengan petani gandum, bertemu dengan kumpulan gipsy lagi, hingga bertemu seorang kakek yang telah menganggapnya sebagai cucunya sendiri.

Dan dari pertemuan-pertemuan tersebut tentulah ia mendapat begitu banyak pengalaman berharga, dan hal tersebut juga merupakan jawaban yang membantunya menjadi lebih dewasa dan lebih siap untuk meraih kebebasannya di Alaska.

Bagi saya film ini seolah membuat saya bermimpi kapan saya bisa melakukan perjalanan yang begitu mengesankan. Tapi saya langsung menyadari bahwa kecil kemungkinan saya mampu seperti Chris, karena kolesterol saya masih harus ditekan dan ditekan lagi. Tapi setidaknya film ini mampu menjadi inspirasi bagi saya, untuk suatu saat saya masih harus melihat luasnya dunia.

***
Selain tiga film di atas saya baru saja menonton The dark Knight (Halloo, itu film tahun kapan, ya? Kok baru nonton sekarang! Hahaha...) dan Ratatouille.

Meskipun cukup banyak orang yang mengagung-agungkan The Dark Knight, namun maaf, ya! Bagi saya The dark Knight belum memberi kesan lebih. Heath Ledger memang pantas menerima Best Supporting Actor. Seandainya jebakan permainan Joker menjadi andalan di film ini, maka entah mengapa saya membandingkan permainan Jigsaw dalam film Saw. Bagi saya masih menang Jigsaw. Tetapi jika saya mencoba membandingkan dengan film superhero sejenis, The Dark Knight memang menduduki urutan atas.

Sedangkan Film Ratatouille memang masih seperti film disney/pixar lainnya. Jika kemarin humanisme dalam Wall-E mengesankan bagi saya, maka humanisme pada tikus bukan hal yang baru, sebelumnya ada Mickey. Hanya saja bagian yang paling mengesankan adalah ketika bagian penutup sang kritikus masakan menuliskan hasil kritikannya. Adegan tersebut mengubah sudut pandang kita tentang dunia kritik-mengkritik yang kita kenal selama ini.
___________________________________________________________________________
more info visit imdb.com
all poster from impawards.com

Rabu, 11 Maret 2009

Believing Bromo

Photo by: Navan & Koplak
Editing & Text: Navan

___________________________________________________________________________
Ah, dari dulu saya hanya bisa membayangkan untuk berjalan-jalan ke Bromo. Percaya atau tidak, meskipun Bromo hanya berjarak 2-3 jam dari Jember, tetapi sekalipun kami belum pernah ke sana. Mungkin karena saat SD masih terlalu kecil bagi Mas Ayos, saya, dan Condro untuk ke Bromo, bapak memutuskan untuk tidak berekreasi ke sana. Sementara saat Mas Ayos menginjak SMP, ia melanjutkan sekolah di Solo. Sejak saat itu, keluarga kami selalu terpencar-pencar, dan sangat langka berkumpul lengkap berlima sekeluarga, dan saat berkumpul terkadang hanya satu hari, yang akhirnya hanya dimanfaatkan untuk makan malam di luar saja.

***


Akhirnya saat Koplak sedang berkunjung ke Jember, ia mengajak saya ke Bromo dan Pulau Sempu. Ke Pulau Sempu rasanya belum memungkinkan. Tapi kalau ke Bromo bisa dibicarakan dulu sama ibu. Akhirnya beliau mengizinkan dan menambah uang saku saya (ke Bromo dadakan, jadi sebelumnya belum nabung untuk rencana ke Bromo. Hiks, lain kali saya harus menabung, bukankah traveling lebih lezat dengan uang sendiri ?;) ).

Perjalanan ke Probolinggo naik Bis dari terminal Jember menghabiskan waktu sekitar 2 jam. Setelahnya kami menaiki angkutan umum khusus ke Bromo, yang memakan waktu sekitar 2 jam juga. Di dalam angkot kami berkenalan dengan seorang traveler dari Hungaria, namanya Chard. Dia datang bersama temannya yang duduk di barisan depan depan. Selain mereka, ada couples traveler yang berasal dari Polandia. Sisanya penduduk Probolinggo. Sedangkan turis lokal hanya Saya dan Koplak.

Chard adalah seorang radiolog, dan berbincang bersamanya selama 2 jam di dalam angkot sangat menarik. Percaya atau tidak, ini pengalaman pertama saya berbincang dengan seorang bule. Dengan bahasa gado-gado, dan dengan bantuan body language saya berusaha mengobrol dengannya. Not bad, malah ia sangat baik. Ia bercerita bahwa ia telah mengunjungi Toba Lake, Jakarta, Borobudur, Yogyakarta dan setelah ke Bromo ia berencana untuk pergi ke Bali, Lombok, dan Sulawesi. Ia sangat suka Soto Ayam dan Nasi Goreng. Ia membawa kamera sejenis kamera poket, tapi panjang dan dengan 2 layar. Ketika kami tanya, ia menjelaskan bahwa gambar yang dihasilkan oleh kamera itu nanti akan membentuk gambar 3 dimensi. Saya dan Koplak cuma bisa melongo. Ia juga meminjami kami GPS dan Lonely Planet Guide Book: Indonesia.

Sesampainya di Bromo, angkot membawa kami dan para bule ke Hotel Cemara Indah. Kata supir angkot, penginapan ini yang terbaik dan termurah, ini rekomendasinya. Harga kamar yang paling murah, untuk 2 orang adalah 75 ribu. Saya dan Koplak minta survey ke penginapan lain, sementara bule-bule maunya ke Hotel CafeLava, entahlah, mungkin itu rekomendasinya Lonely Planet Guide Book. Di CaveLava malah lebih mahal, ekonomi 2 orang 100 ribu. Akhirnya saya dan koplak memilih menginap ke Cemara Indah. Ada penginapan lain yang ekonomi 2 orang 60 ribu, tapi kami memilih Cemara Indah karena letaknya yang di pinggir lautan pasir. Sehingga dari penginapan pun kami bisa melihat gunung Bromo dan gunung Batok.


Sampai malam bisa dibilang kami tidak melakukan apa-apa. Sorenya kami hanya main-main ke pintu gerbang taman nasional gunung Bromo. Malamnya hujan deras. Kami pun menyempatkan diri ke cafe penginapan dan memesan secangkir teh hangat. Di dalam cafe juga ada dua bule sedang mengobrol sambil bermain catur. Di pojok ada bule yang asyik menulis di tengah tumpukan buku dengan sebotol bir. Mungkin dia seorang reporter majalah.
Usut punya usut, setelah Koplak berbicara dengan pelayan cafe, para bule sudah menginap di bromo 2 malam karena dalam 2 hari ini setiap pagi selalu hujan deras. Aku dan Koplak lantas saling berpandangan dan nyengir, seolah saling bertanya, "lah, kita besok gimana?"

***
Lucky! Kita terbangun jam 4 pagi dan di hujan turun hanya rintik-rintik. Kami langsung bersiap untuk pendakian dan keluar. Para bule sepertinya sudah keluar sebelum kami. Kami langsung menuju ke gerbang taman nasional gunung Bromo, dan menuruni jalan menuju lautan pasir. Sebelumnya kami diperingatkan oleh penjaga agar berhati-hati, karena dalam cuaca seperti ini, angin cukup kencang, pasir banyak beterbangan, otomatis jarak pandang hanya sekitar 1-2 meter. Jadi jangan sampai kesasar.

Begiti tiba di lautan pasir, kami disambut oleh para ojek kuda yang menawarkan kudanya. Kami menolak, mencoba menghadapi tantangan berjalan kaki. Ternyata ada sepasang bule yang sama dengan kami, sepertinya mereka bule Polandia yang kemarin seangkot dengan kami. Mereka mengajak kami untuk berjalan bersama. Tapi dasar kaki mereka panjang-panjang! Mereka melangkah cepat, sementara saya yang gendut menghalangi Koplak untuk melangkah cepat.
Angin kencang, udara dingin menusuk, serta kolesterol yang menimbun di dalam perut membuat setiap sepuluh langkah saya harus berhenti untuk meminum bekal air jeruk yang sudah dibuat ibu di rumah. Tapi si koplak terus menyemangati saya. Katanya, kalau nggak mau kedinginan beku, harus tetep gerak.

Setelah terus melawan angin dingin, sampai juga di Pura Luhur Poten. Gunung bromo sudah terlihat samar-samar, tinggal mencari tangga menuju kawah. Di sini kami bertemu lagi dengan pasangan bule Polandia. Kali ini mereka meminta saya untuk memotret mereka berdua. Sekitar pukul setengah enam, kami mulai mendaki Bromo. Lagi-lagi karena kolesterol menumpuk, angin kencang, udara dingin, dan kali ini ditambah tanjakan, saya harus merasa berhenti tiap lima langkah. Seringkali saya marasa kehabisan oksigen. Ketika kami mencari tangga, beberapa bule dengan guide-nya sudah pada turun. Beberapa orang yang kami tanya bilang, kami harus terus ke atas untuk sampai ke tangga kawah. Di satu sisi, hari sudah mulai terang, namun matahari tertutup kabut. Pupuslah harapan kami melihat sunrise.

Setelah tangga kawah terlihat, kami segera menaikinya. Tentu saja saya masih harus mengambil nafas setiap 5 anak tangga terlewati. Setelah sampai tepi kawah, saya diperingati Koplak untuk menutup hidung saya dengan syal. Benar saja, selain kawah tertutup kabut, yang bisa dirasakan hanya bau belerang yang begitu menyengat. Setelah sekitar kurang dari lima menit kami mengambil foto, kami harus segera turun sebelum keracunan belerang.

Ketika kembali di lautan pasir, matahari sudah cukup tinggi, angin yang tidak terlalu kencang, kabut mulai menghilang, udara yang mulai menghangat, saat yang tepat untuk menikmati suasana lautan pasir yang sangat indah. Saat yang tepat pula bagi kami untuk mengambil beberapa foto. Ahh, pagi tadi mata hanya mampu memandang dengan jarak pandang yang sangat rendah, namun kini segalanya terlhat berbeda. Gunung batok, kawah bromo, Pura Poten, dan tebing yang mengelilingi bromo membuat kami menyadari mengapa lonely planet guidebook merekomendasikan tempat ini untuk dikunjungi oleh masyarakat dunia. Di satu sisi, kami juga merasa bersalah karena sholat subuh kami keteteran...

Berikut ini gambar-gambar yang kami ambil, silahkan dinikmati!







***

Setelahnya kami berkemas, chek out, dan menaiki angkot ke terminal Probolinggo. Di terminal Probolinggo saya berpisah dari menemani petualangan Koplak di Jawa Timur. Petualangan Koplak sendiri masih berlanjut ke kota Malang dan Surabaya. Menikmati kesendiriannya sebagai lonely traveler. Sementara saya harus kembali ke Jember.

Mengapa di postingan ini tidak ada liputan mengenai Bromo kuliner? Karena kami salah waktu, kami datang ketika musim tidak mendukung orang-orang ke Bromo. Sehingga warung banyak yang tutup. Kami sendiri hanya menemukan warung mi instan, beli roti di warung klontong, dan makan di cafe penginapan.

Mengapa postingan ini diberi nama Believing Bromo? Entahlah, saya hanya sekedar menuliskan judul, tanpa tahu pengertiannya. Tapi mungkin saja judul tersebut muncul ketika saya mencoba mempercayai kunjungan saya ke Bromo yang seolah seperti mimpi saja. Mempercayai bahwa Bromo kini menjadi pengalaman hidup saya. Mempercayai bahwa akan selalu ada teman (seperti Koplak), yang setia membantu kita menuju ke atas. Mempercayai akan kekuatan alam yang sangat besar. Mempercayai kebetulan-kebetulan yang terjadi di sekitar kita.

Bromo menjadi suatu kepercayaan bagi saya, di mana masih ada banyak tempat indah di Indonesia dan di Dunia, yang harus saya kunjungi suatu saat nanti, sebelum saya mati... :)

Senin, 02 Maret 2009

Weird is Beautiful


Saya puas bisa berkesempatan menonton sejumlah film dalam satu minggu terakhir ini. Kuliah belum terlalu memanas, kesibukan belum terlalu menyesakkan dada, saat yang tepat mencari sejumlah hiburan dan belajar banyak darinya.

Tiga film terbaik yang saya tonton pada minggu ini adalah Wall-E, The Curious Curse of Benjamin Button, dan Crash. Satu perasaan yang menghubungkan ketiga film itu adalah ‘aneh’!

Aneh bukanlah kata yang buruk, ini adalah kata yang menjelaskan perasaan yang tercampur aduk. Tak dapat diungkapkan dengan kata-kata, tetapi dapaat diekspresikan dengan dahi yang mengerenyit, dan detak jantung yang sedikit lebih cepat.

Itulah aneh. Itu bukan sesuatu yang buruk. Percayalah, ketiga film ini adalah yang terbaik yang saya tonton dalam minggu ini!

***

Beberapa film tentang robot yang terakhir saya lihat adalah I-Robot yang dibintangi oleh Will Smith, film animasi ‘Robots’, dan yang masih cukup fresh adalah Transformers yang dibintangi oleh Shia LeBouf. Itu baru tiga dari sekian banyak film robot yang dibuat. Minggu kemarin saya juga baru saja ke pameran tentang robot bersama kakak saya.

Tapi entah mengapa begitu melihat film Wall-E, saya seolah disuguhi sajian robot yang berbeda. Memecah mainstream film robot yang selama ini identik dengan bentuk-bentuk tertentu dan fungsi-fungsi tertentu. Mungkin saja ini disebabkan karena sisi humanis robotlah yang disorot dalam Wall-E. Ini sekaligus membuat Wall-E semakin fiktif, karena robot yang kita kenal adalah mesin dengan fungsional menyerupai manusia namun tidak akan pernah memiliki hati layaknya manusia. Tetapi semakin fiktif juga bukan masalah. Bukankah selama ini kita telah disuguhi berbagai fiksi yang indah.

Bagi saya, humanisme dalam Wall-E bagaikan peri dalam dongeng. Sangat fiktif, namun indah.


Terlepas dari karakter, cerita yang terpapar dari awal hingga akhir sangat memberi kesan tersendiri bagi saya. Jujur, saya selama ini cukup muak dengan segala hal yang berbau save the environment, karena seolah peduli lingkungan hanya tren semata, apalagi sejak isu global warming. Kesan pertama saya terhadap film ini hanyalah film animasi tentang robot pembersih sampah yang bercerita tentang rusaknya bumi di masa depan. Sesuai tren.


Ternyata saya salah. Memang, ketika adegan aksi kejar-kejaran antar robot, kisah cinta antara Wall-E dan Eva, merupakan hal biasa yang sering ditemui dalam film animasi lain. Tetapi saya sangat suka dengan detailnya, yang aneh tapi indah. Mulai ketika disorot sebuah I Pod yang telah menjadi barang kuno, manusia yang berevolusi menjadi gendut karena malas, musik latar tahun 60an dalam pesawat luar angkasa (kaset yang mengiringi wall-E), Hingga bagaimana manusia “kangen” sama bumi. Saya langsung mengernyitkan dahi sambil tersenyum. Ya, Wall-E dipenuhi oleh adegan yang aneh namun terasa sangat indah.

Jangan lupa satu adegan yang ‘aneh mempesona’ (istilah baru, hehehe...). yaitu credit title, di mana diceritakan manusia kembali ke bumi dan memulai kehidupan dari awal. Diilustrasikan dengan animasi kartun gua, lukisan mesir, motif kaca gereja abad pertengahan, masa percetakan, hingga ala lukisan van gogh sambil diiringi lagu “down to earth”.

Komentar terakhir saya, Wall-E seolah menjawab pertanyaan klasik, untuk apa manusia diciptakan di bumi? Yang mana jawaban tersebut untuk seluruh umat manusia, untuk agama apapun, bahkan mereka yang atheis sekalipun.

***

Film kedua, The Curious Case of Benjamin Button, kisah fiksi yang menceritakan seseorang yang mengalami kebalikan usia, lahir sebagai bayi dalam fisik tua, dan dalam perjalanan hidupnya semakin muda. Sekilas film ini mengingatkan saya kepada Forest Gump. Sama-sama menceritakan kisah manusia yang berbeda dari yang lain, dan berpetualang menjalani hidup.

Tema yang unik membuat saya tertarik untuk melirik film ini. Tetapi sungguh, ketahanan saya diuji. Karena ternyata selain durasinya yang cukup panjang (hampir 3 jam), setengah bagian pertama film bagi saya cukup membosankan. Bahkan jujur, ada bagian-bagian seperti saat di laut, yang saya skip karena bagi saya bertele-tele (maafkan saya, ya!). Sisanya saya jalani dengan penuh tabah.

Ketabahan saya berbuah hasil, karena setengah bagian akhir film sangat memuaskan saya. Lagi-lagi di setengah bagian akhir film ini saya mengernyitkan dahi. Saat kecelakaan Daisy di Perancis, yang terkaitkan oleh teori Benjamin akan accident design. Saat kisah cinta Daisy yang semakin tua kepada Benjamin yang semakin muda. Hingga detail setting film ini sehingga saya begitu menikmati perjalanan waktu dari tahun 1918 hingga 2008 ini. Semua terjadi begitu aneh, namun indah.

Aneh juga rasanya melihat Cate Blanchett yang mampu memerankan Daisy dari usia 20an hingga paruh baya. Sementara melihat brad Pitt berperan sebagai Benjamin dari kakek-kakek hingga layaknya American Teens lainnya. Dengan make up artist profesional, mereka berdua seolah membuktikan kepiawaian mereka dalam memerankan peran segala usia.

Sama seperti Wall-E, film ini ditutup dengan indah. Sebelum credit title, terdengar narasi dari benjamin Button, sambil mengenang mereka yang telah menjadi bagian hidupnya. That’s my best scene!


Komentar Terakhir, The Curious Case of Benjamin Button tidak memberikan sebuah pesan. Film ini justru membuat kita semakin mempertanyakan dan merenungi kembali eksistensi diri kita sebagai manusia. Film ini seolah memperlihatkan kita berbagai kejadian yang berkaitan dengan birth, death, age, time, life, destiny, dan segala hal dengan penuh anomali. Tinggal kita sendiri yang mengambil hikmahnya.

***



Film terakhir adalah Crash. Film ini berbeda dari kedua film di atas yang fiktif dan bermain dengan waktu. Crash menggambarkan persoalan rasisme di kalangan masyarakat Amerika dengan bersettingkan masa kini. Dengan cerita yang multiplot (tipe cerita yang saya suka), film ini menceritakan terjadinya berbagai permasalahan antar berbagai ras dalam waktu sehari.

Dua remaja kulit hitam yang terlibat pencurian mobil. Detektif kulit hitam dengan permasalahan akan keadilan. Seorang pengacara dan istrinya. Pria arab dan keluarganya yang mengalami teror rasis. Dua polisi yang berbeda pandangan akan ras, namun saling berbalik. Produser yang kerap mendapatkan masalah ras, dan istrinya yang mendapat pelecehan. Pria Hispanik yang baru saja lepas dari lingkungan buruk, namun keluarganya mendapat masalah.

Semua bertubrukan dan bergesekan dengan masalah-masalah rasialis mereka sendiri, namun terhubung dalam satu benang merah. Hingga setelah melihat kenyataan-kenyataan yang dipaparkan, justru terjadi area abu-abu antara yang benar dan yang salah.


Rasa aneh melihat bagaimana terkadang prasangka-prasangka antar ras mengubah segala hal dengan begitu cepat. Seorang polisi kulit putih pelaku pelecehan seksual berusaha menolong wanita kulit hitam yang justru menjadi korbannya. Sedangkan polisi yang tidak rasis, justru menembaki pemuda kulit hitam karena sebuah prasangka. Senjata yang tadinya digunakan seorang pria persia pemilik toko untuk melindungi ancaman rasialis ternyata disalah gunakan untuk membunuh seorang ahli kunci hispanik.

Bagi saya, film ini hampir dirusak dengan satu adegan yang memperlihatkan keajaiban, dimana seorang anak perempuan tertembak namun tidak terluka sama sekali. Sehingga yang tadinya seluruh film ini hampir berlandaskan rasionalitas, hampir ambruk. Namun ternyata keajaiban tersebut memiliki penjelasan yang rasional. Sehingga keutuhan film ini mampu dipertanggungjawabkan.

Komentar terakhir, entah mengapa saya selalu suka cerita dengan banyak tokoh dan multiplot. Namun terkadang cerita seperti itu harus berhadapan dengan permasalahan fokus cerita. Dan seandainya tidak berhati-hati, Crash bisa menjadi cerita yang simpang siur tanpa tujuan yang jelas. namun di sini Crash telah terselesaikan dengan apik, mengembangkan setiap permasalah dengan baik tanpa merusak fokus utama dari film ini.

***


Kini, Wall-E, The Curious Case of Benjamin Button, dan Crash menjadi jejeran dalam film favorit saya. Dan saya baru saja mendapatkan Slumdog Millionaire yang telah mendapatkan 9 oscar, serta film komedi keluarga Adam Sandler, Bedtime Stories. Kalau bagus, nanti saya akan buat resensinya minggu depan. tunggu saja!
___________________________________________________________________

Maaf saya tidak menampilkan data filmnya secara lengkap. Tetapi bisa dilhat di imdb.com.

Sumber Poster: http://www.impawards.com

Understanding Koplak Part III - End

Photo: Navan and Koplak
Text & Editing: Navan

____________________________________________________________________
Day 3

Akhirnya sampai juga di hari ketiga. Bosan juga, nih! nulis rangkaian perjalanan koplak di Jember. Pada hari ketiga , kami berencana pergi ke pantai puger, pantai dengan perkampungan nelayan di selatan Jember. Kami berencana ke pantai puger dengan membawa beberapa misi. Yang pertama, sebelumnya kami tergoda oleh rayuan kakak saya, Mas Ayos, yang medorong kami untuk mampir ke pulau Nusa Barong, pulau di selatan Pantai Puger. Mas Ayos titip cerita dan liputan, sementara Koplak yang terobsesi dengan pulau Sempu, menaruh harapan agar bisa melampiaskan ke pulau Nusa Barong. Ibu juga ngga mau kalah, beliau titip beberapa ikan segar, dan udang laut segar.

Setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang 30 menit, kami pun tiba di pantai puger. Di sana kami disambut oleh Dendra Febriawan, teman saya sewaktu smp dulu. Di rumahnya kami disambut oleh keramahan kedua orangtuanya. Tak lupa kami dijamu dengan beragam makanan lezat. Nasi jagung, ayam bakar bumbu merah, ikan asin, lalapan, urap, lengkap dengan sambalnya. Hmm... yummy! Thanks, ya ndra, buat jejamuannya.

Sebelum berangkat ke pantai, ayahnya Dendra mewanti kami terlebih dahulu. Kata beliau, saat itu sedang musim hujan, angin laut dan ombak cukup kencang. Jangan harap ke Nusa Barong, lha wong pas cuaca biasa saja berbahaya, apalagi musim seperti ini. Tidak adanya nelayan yang melaut, secara otomatis kami juga dilarang ayahnya Dendra untuk membeli produk laut. Alasannya, produk-produk laut tersebut tidak segar. Musim seperti ini Pantai Puger otomatis tidak menghasilkan produk laut. Produk laut yang dijual di pelelangan ikan kemungkinan berasal dari Situbondo atau bali yang diangkut ke puger dengan menggunakan formalin sebagai pengawet!

Misi mas ayos tentang cerita Nusa Barong, obsesi Koplak ke Nusa Barong, dan produk laut titipan ibu tidak dapat diperoleh hanya gara-gara kami salah waktu berkunjung ke Pantai Puger. Tapi kami tidak kecewa, karena ternyata Puger mengahadirkan panorama yang sangat menawan, jauh melebihi perkiraan saya tentang pantai nelayan yang kumuh dan biasa saja. Ditemani Dendra sebagai guidenya (sampai bawa temennya yang preman biar bisa masuk gratis, tapi gara-gara saya bawa motornya ketinggalan, bayar deh! Hahaha...), kami diajak mengunjungi pantai puger, pelelangan ikan, hingga bukit kapur tempat ayah Dendra membuka usaha. Silahkan menikmati photoshoot kami yang telah diedit tentunya! Hahaha...



***
Hari terakhir Koplak di Jember, malamnya kami sekeluarga makan malam bersama. Kepribadian Koplak yang supel dan bersahabat, membuat keluarga saya sangat menerima kedatangannya. Hanya dalam waktu tiga hari, ia telah berhasil menjadi bagian dari keluarga kami.

Memahami (understanding) Koplak yang unik, secara tidak langsung membuat saya memahami kota saya sendiri, Jember. Bahkan sebelum Koplak berkunjung ke Jember, saya belum pernah sama sekali ke beberapa tempat yang kami tuju kemarin. Ini membuat saya menjadi tahu beberapa tempat dan akses menuju ke sana.

Saya menyadari bahwa sebagian dari kota Jember masih asri dan hijau. Belum terjamah modernisasi luar. Sawah hijau, perkebunan karet, hingga perkebunan kopi, ternyata memberi pesona tersendiri. Terbukti koplak yang suka dengan alam, sangat menikmatinya.

Saya pernah meminta komentar tentang kota Jember ke Koplak. Menurutnya, kota Jember adalah kota yang masih cukup natural, hanya saja baginya Jember kurang berwarna. Katanya, maksud dari Jember kurang berwarna adalah tidak ada tempat-tempat seperti keraton atau candi. Hah? Ya jelas nggak ada, plak! Hahaha... tapi saya mengerti maksudnya. Artinya kira-kira adalah Jember kurang terasa unsur budayanya.

Sebelum rangkaian tulisan understanding koplak ini ditutup, saya akan memberikan beberapa fakta lain tentang koplak:

6. Keluarga kami biasa sarapan dengan ditemani kopi atau teh. Ketika hari pertama ditawarkan mau teh atau kopi, ia tanya, “kalau susu ada ngga?” hahaha... Untung keluarga kami punya susu, Hari-hari selanjutnya di Jember ia sarapan dengan susu.
7. Keluarga kami tidur di lantai satu. Kamar tamu ada di lantai dua. Koplak takut tidur sendirian. Ujung-ujungnya dia tidur di kamarku. Halah!


Understanding Koplak. End.

___________________________________________________________________

Thx for dendra yang udah jadi guide kami! Kapan-kapan aku maen-maen ke puger lagi, ya....