Minggu, 21 Februari 2010

Ujung Genteng Travel Report 2010

Saya melakukan perjalanan bersama teman saya, Agra, pada 22 Januari 2010 kemarin di Pantai Ujung Genteng, Sukabumi Selatan, Jawa Barat. perjalanan ini memberi kesan tersendiri bagi saya, karena ini pertama kalinya saya berinisiasi mengadakan perjalanan sendirian.

Mungkin perbedaan travel report kali ini dibandingkan dengan travel report sebelum-sebelumnya adalah, saya menulis report ini dengan sesingkat mungkin. Mungkin karena saya masih berada dalam proses pemulihan dari penyakit “malas nge-blog”.

Di dalam travel report ini, bisa dilihat bagaimana proses awal mula perjalanan saya hingga bisa sampai ke daerah Sukabumi selatan lewat catatan: Prolog. Sebelum sampai di Pantai Ujung Genteng itu sendiri, saya dan Agra menyempatkan diri mampir ke Curug Cikaso, yang dituliskan dalam Cuaca Cerah Curug Cikaso. Esoknya, Kami pun menghabiskan satu hari (minus setengah hari karena hujan) dengan bermain-main di Sepanjang Ujung Genteng. Terakhir, saya punya satu keinginan yang harus dikabulkan sebelum saya kembali dari Ujung Genteng, yaitu saya Harus Bertemu Penyu!

Namun ternyata perjalanan kali ini memberi suatu pengalaman tersendiri bagi saya karena ternyata ada berbagai hal yang membuat saya merenungi, apakah saya mendapatkan sesuatu dari perjalanan ini, karena tiba-tiba saya merasa bahwa Saya Pejalan Gagal. Ini adalah sebuah curhatan yang terselip dalam Travel Report, hahaha...

Akhir kata, semoga Travel Report kali ini mampu memberi inspirasi bagi Anda semua. Saran selalu saya tunggu, Kritik pun akan saya terima. Syukur-syukur kalau Anda mau mengajak saya jalan-jalan, hehehe...

Harus Bertemu Penyu!

Hari terakhir saya di Ujung Genteng, saya merasa gondok. Saya gagal melihat penyu bertelur malam hari karena hujan, saya juga gagal melepas penyu saat senja karena (lagi-lagi) hujan. Padahal salah satu tujan saya ke Ujung Genteng adalah untuk melihat-lihat penyu.
Kalau saya pulang dari Ujung Genteng dan belum melihat penyu, saya bakalan mati penasaran, nih!

Akhirnya saya membujuk Agra untuk mampir ke Penangkaran Penyu di Pantai Pangumbahan sebelum saya pulang. Tak masalah saya tak bertemu dengan penyu, asalkan saya sudah mampir ke tempatnya.

Medan menuju ke Pantai Pangumbahan cukup susah bagi motor bebek yang kami tumpangi. Jika musim kemarau kita harus berhati-hati agar tak terpeleset terselip oleh pasir pantai yang cukup banyak. Jika musim hujan kita harus berhati-hati agar tak terjerumus ke dalam lumpur. Dan kami adalah salah satu korban yang terjebak ke dalam lumpur tersebut, haha...

Begitu kami tiba di Penangkaran penyu Pangumbahan, kami bertemu pak Asep, penjaga penangkaran tersebut. Kami lantas membarat 5000 rupiah sebagai retribusi, lantas kami mengobrol sebentar dengan pak Asep. Beliau menyayangkan kami datang tidak saat sore atau malam di mana kami bisa melepas penyu atau melihat penyu bertelur. Lantas beliau pun mengeluarkan baskom berisi sejumlah anak-anak penyu,“biar kalian bisa foto-foto”, kata Pak Asep. Ah, pak Asep tahu saja kebutuhan kami, hahaha...

Penyu memang unik, setelah bertahun-tahun dilepas di lautan luas, ia akan kawin dan bertelur di pantai yang sama. Setelah bertelur pun nantinya penyu tersebut akan kembali ke pantai yang sama untuk bertelur lagi. Jika ingin melihat penyu bertelur di malam hari, tidak diperbolehkan membawa senter atau sumber cahaya lain. Selain itu, datangnya penyu tak dapat diterka, kadang jam 12 malam, atau kadang kita harus menunggu hingga jam 3 pagi!

Menurut cerita Pak Asep, Penangkaran penyu Pantai pangubahan sebenarnya mulai berada di bawah Departemen Kelautan dalam beberapa tahun terakhir ini. Padahal Penangkaran ini sesungguhnya telah berdiri sejak 30 tahun yang lalu namun dipegang oleh swasta untuk keperluan jual beli telur penyu. Sekitar tahun 90an, mulai dilakukan penangkaran sekitar 50% dari telur penyu yang ada, sementara 50% yang lain diperjualbelikan. Sejak beberapa tahun yang lalu jual beli telur penyu mulai dilarang demi mencegah kepunahan, dan akhirnya penangkaran penyu Pangubahan pun berada di bawah departemen kelautan dan penangkaran telur penyu dilakukan 100%. Bahkan dapat dibilang penangkaran penyu Pangumbahan ini termasuk yang terbaik dan akan dijadikan model bagi penangkaran penyu di daerah lain di Indonesia.

Setelah puas bermain-main dengan anak penyu, saya dan Agra sempat mampir ke Pantai Pangumbahan itu sendiri. Dan pantai ini sendiri memiliki pasir putih dan jauh lebih bersih dibandingkan pantai-pantai lain di sepanjang Ujung Genteng. Kalau sudah ke penangkaran penyu dan Pantai Pangumbahan, saya tak perlu takut lagi jika nantinya saya mati penasaran, hahaha...




Sepanjang Ujung Genteng

Sepulang dari Curug Cikaso hari sudah mulai sore. Saya dan Agra pun menuju Ujung Genteng. Jangan harap sepanjang perjalanan kami melihat pemandangan matahari senja, karena cuacanya sedikit mendung. Pertanda akan turun hujan nanti malam. Padahal kami berencana ingin melihat penyu bertelur di Penangkaran Penyu nanti malam.

Kami menginap di Losmen Deddy seharga IDR 150.000 per malam berupa pondok satu kamar untuk dua orang dengan kamar mandi di dalam. Harga awalnya lebih mahal, tetapi karena Agra sebelumnya pernah menginap di Losmen ini, dia pun bisa menawar hingga 50%!

Sebelum malam, kami sempat bermain-main di pantai karang Ujung Genteng. Maksud hati ingin mendapat senja, apa daya mendung menghadang. Kami pun bermain dan mengambil gambar ala kadarnya.

Kami makan malam dengan mie rebus di warung mi depan losmen. Dan sepertinya ini akan menjadi makanan kami hingga besok, karena harga warung nasi dengan ikan di daerah ini tidak murah. Sementara malamnya hujan deras. kami pun tak jadi melihat penyu bertelur di penangkaran penyu. Lantas apa yang kami lakukan? Mbathang di kamar bermain hape sepanjang malam. Menyesal saya tidak membawa semacam buku bacaan...

***
Pantai Ujung Genteng cukup panjang. Membentang dari Dermaga Tua hingga Cibuaya. Kontur dari pantai Ujung Genteng sendiri cukup beragam. Ada yang berupa pantai landai dengan pasir yang cukup putih, ada pula yang banyak karang, bahkan kita bisa bermain hingga ke tengah.
Maka hari berikutnya kami habiskan untuk bermain-main di sepanjang pantai Ujung Genteng. Paginya, setelah kami sarapan dengan nasi kuning dan sepotong tahu, kami segera menuju Dermaga Tua.

Dermaga Tua buat saya cukup menarik, entah mengapa. Mungkin karena reruntuhan sisa dermaga yang bercampur dengan pantai membuat area ini sangat menarik untuk dijelajahi. Apalagi didukung dengan langit pagi yang cerah, tempat ini pun menjadi cukup sempurnya untuk diambil beberapa gambarnya.

Dari Dermaga Tua ini kita bisa melihat dua sisi Ujung Genteng, sisi sebelah barat yang berupa pantai, dan sebelah timur yang terdapat kampung nelayan dan pelelangan ikan. Cukup banyak nelayan yang mencari ikan di sekitar area Dermaga Tua ini. Mereka juga bisa memancing di ujung dermaga yang menjorok ke tengah laut. Sementara saat saya ingin ke ujung dermaga, saya terhalang oleh reruntuhan dermaga yang cukup licin.


Sepulang dari dermaga tua, kami menyusuri pantai Ujung Genteng menuju Pantai Cibuaya. Ini juga merupakan perkampungan nelayan. Kami sempat mampir ke warung kopi sebentar, sementara Agra sempat mengobrol dengen beberapa warga di warung kopi. Sekedar mengetahui jalur ke Penangkaran Penyu dan beberapa tempat menarik lainnya.

Cukup mengasyikkan menghabiskan waktu sekitar pukul sepuluh siang dengan minum kopi di Kampung Nelayan Cibuaya.

***
Siangnya kami sholat Jum’at di sebuah masjid di dekat pelelangan ikan. Namun kami telat, Sholat Jum’at telah selesai dan kami pun hanya sholat Dzuhur. Setelah ini kami berencana beristirahat sebentar, dan sorenya akan kami berencana ke Penangkaran Penyu untuk melepas anak penyu, dan malamnya kami berencana menyaksikan penyu bertelur di Pantai Cibuaya.

Tapi semua rencana tersebut dalam sekejap berubah menjadi kentut. Hujan deras melanda Ujung Genteng dari sore hingga malam. Saya benar-benar mbathang di kamar. Mau apalagi, ini resiko melakukan perjalanan musim hujan...

Cuaca Cerah Curug Cikaso

Saya dan Agra tiba di desa Surade pukul dua siang. Setelah makan siang di sebuah warung, kami memutuskan untuk mampir ke Curug Cikaso yang berada sekitar 10 km dari Desa Surade. Pertimbangan kami, selain waktu masih jauh dari senja, langit juga tidak terlihat mendung. Sebuah kondisi cuaca yang jarang dijumpai saat musim hujan. Jadilah kami merasa saat itu merupakan waktu yang tepat untuk mampir ke Curug Cikaso.

Saat tiba di pintu masuk, kami tidak langsung dihadapkan pada lokasi Curug, tetapi ada dua pilihan jalan yang bisa dilakukan, apakah berjalan kaki sekitar 10 menit melalui jalan setapak di sawah, atau menyewa perahu untuk menyusuri sungai Cicurug seharga IDR 80.000/kapal dengan kuota maksimal 12 orang. Tentu saja kami awalnya memilih menyusur jalan setapak karena harga kapal yang tak masuk akal jika hanya ditumpangi kami berdua. Tetapi setelah para ojek kapal membujuk dengan harga 35.000 untuk kami berdua, kami pun terbujuk dengan rayuannya. Alasan saya sendiri, sih, saya penasaran dengan suasana menaiki kapal menyusuri sungai Cicurug.

Oke, sangat menyenangkan menyusuri sungai Cicurug yang hijau dan dengan hutan di kiri-kanan sungai. Tapi yang membuat saya gondok setengah mati, ternyata jarak dari pintu masuk menuju Curug Cikaso hanya ditempuh selama 1 menit saja. Mau tak mau jika dibandingkan dengan harga perahu yang kami bayarkan tadi, ternyata sangat mahal!

Curug Cikaso merupakan air terjun yang bersal dari sungai Cicurug (ci berarti sungai, curug berarti air terjun), tetapi banyak orang yang menamainya Curug Cikaso karena aliran air terjun ini akan bertemu dengan sungai Cikaso yang lebih lebar.

Jika diperhatikan, Curug Cikaso termasuk tipe air terjun yang cukup lebar yang terdiri dari tiga bagian air terjun. Tingginya sendiri sekitar 30 meter. Menurut informasi dari pak Mumuh, yang tadi mengantarkan kami lewat kapal, Curug Cikaso sendiri baru mulai ramai dikunjungi pada sekitar tahun 2006. Dan baru-baru ini pemerintah daerah mulai mengembangkannya menjadi objek wisata dengan cara memperbaiki jalan dan mempermudah akses menuju Curug Cikaso.

Bahkan saat kami berada di lokasi curug tersebut, Pak Mumuh yang ternyata juga menjabat sebagai ketua paguyuban yang mengelola Curug Cikaso, sedang membangun semacam pos penjagaan di dekat area curug yang nantinya akan berfungsi sebagai pengawas keselamatan para wisatawan.



Sebelum kami pulang, kami sempat mampir ke kantor Paguyuban Pengelola Curug Cikaso. Mereka menjelaskan bahwa sebenarnya mereka memiliki sebuah paket perjalanan dengan perahu yang lebih jauh dan lebih mahal. Paket tersebut adalah mengunjungi Curug Cikaso, Gua Aul (gua yang katanya masih belum banyak dikunjungi dan cukup bagus), Hulu sungai Cikaso, dan Muara Cikaso. Dengan kuota maksimal 12 orang, per perahu dipatok seharga IDR 600.000. Ada yang berminat?

Jumat, 19 Februari 2010

Prolog: Road to Ujung Genteng

Saya tadinya tidak merencanakan liburan apa-apa. Tidak dengan kakak saya, tidak dengan CLR, atau dengan teman-teman lain. Sudah terbayangkan saya akan bersantai di rumah sambil makan masakan mama. Namun entah mengapa, setelah melihat hasil tabungan yang dirasa ‘cukup’, saya memutuskan untuk melakukan perjalanan. Lagi-lagi tanpa alasan yang pasti, saya ingin ke Ujung Genteng, Jawa Barat. Mungkin karena beberapa bulan sebelumnya saya melihat album kakak kelas saya via facebook yang mendokumentasikan liburannya di Ujung Genteng.


Selanjutnya proses perjalanan pun diwarnai dengan sejumlah kebetulan. Kakak saya akan melakukan perjalanan ke Jawa Barat bersama temannya, Nuran. Sehingga kakak saya pun mendukung rencana saya mengunjungi Jawa Barat dengan harapat nantinya akan menghasilkan sebuah e-book bersama.


Saat ingin ke Bandung, kebetulan teman SMA saya yang berkuliah di seni rupa ITB sedang menggelar karyanya di sebuah pameran di Jogjakarta, sehingga kami bisa ke Bandung bersama dengan kereta api ekonomi Pasundan.


Sedangkan kebetulan yang terakhir, awalnya saya ingin sekedar menanyakan informasi tentang Ujung Genteng kepada teman saya, Agra. Namun ternyata dia malah ingin ikut dan menawarkan saya untuk naik sepeda motor berdua dengannya. Tentu saja bagi saya ini sebuah kebetulan yang sangat manis.

***

Perjalanan Bandung-Ujung Genteng menggunakan sepeda motor bukanlah perjalanan yang singkat. Dengan menggunakan sepeda motor perjalan tersebut menghabiskan waktu hingga 9 jam! Kami berangkat dari Bandung begitu selesai sholat subuh, dan baru mencapai desa Surade pukul 2 siang.


Untungnya sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang menarik di sekitar Padalarang. Perbukitan kapur yang pada pagi hari masih terdapat sedikit kabut mengingatkan saya pada lukisan-lukisan Cina. Pada daerah ini banyak terdapat penjual oleh-oleh khas bandung. Saya sempat penasaran dengan Ubi Cilembu yang katanya rasanya manis. Tapi sayang saya tak sempat mampir.


Di pinggiran Cianjur kami menyempatkan diri mampir ke sebuah warung kaki lima yang menjual bubur. Dan saat selesai menyantap bubur ayam tersebut, saya dan Agra sepakat bahwa bubur tersebut kami beri nilai lima jempol! Kami sendiri juga tak tahu kenapa. Yang pasti berbeda dengan bubur ayam Jakarta atau bubur ayam Jawa. Mungkin karena kuahnya gurih seperti kuah soto. Setelah memasuki kota Cianjur, kami menemukan banyak penjaja bubur Cianjur. Mungkin bubur yang kami makan tadi bubur Cianjur.


Bubur Ayam Cianjur

Sementara perjalanan dari Sukabumi menuju Ujung Genteng kami menghadapi perbukitan dengan jalanan berkelok dan pemandangan yang sangat hijau. Area ini tiba-tiba mengingatkan saya pada jalan antara kota Malang dengan Pulau Sempu. Miriplah! Hanya saja menurut saya lebih menarik jalan Sukabumi-Ujung Genteng. Karena pemandangan terus berganti. Terkadang hutan pinus, perbukitan biasa, atau perkebunan teh.


Setelah menjalani 9 Jam yang melelahkan, kami pun akhirnya tiba di Desa Surade pada pukul 2 siang. Akhirnya...!

___________________________________________________________________________

Sumber foto: google.com


Senin, 08 Februari 2010

Saya Adalah Pejalan Gagal


Oke, awal liburan ini saya tidak memiliki rencana apa-apa, hingga akhirnya saya memutuskan untuk pergi sendirian ke Jawa Barat dan pergi ke Ujung Genteng. Pertama kali tahu Ujung Genteng dari album facebook salah seorang kakak kelas SMA. Setelah itu saya banyak mendapat informasi dari Kaskus. Dan Alhamdulillah, meski rencana saya cukup dadakan, tapi saya berhasil mencapai daerah tersebut bersama salah seorang teman SMA bernama Agra.


Tapi sayangnya, saya tidak akan menceritakan lebih jauh tentang Ujung Genteng, melainkan curcol mengenai hikmah dari perjalanan ini.


Kabar baiknya, untuk sementara saya merasa bangga bisa melakukan perjalanan dan perencanaan awal seorang diri (meski pada akhirnya saya banyak mendapat bantuan dari kawan-kawan). Dan saya bangga. Karena bagi orang yang tidak berprestasi seperti saya, pencapaian-pencapaian informal seperti ini seolah menjadi indikator peningkatan kualitas diri. Dan ketika saya berhasil mencapai Ujung Genteng, tanpa bantuan kakak dan teman-teman CLR yang selama ini banyak membantu saya, saya seolah merasa kemandirian saya naik satu level.



Tapi apakah itu benar?

Karena begitu saya pulang dari Ujung Genteng, saya langsung kembali ke realitas yang sesungguhnya. Saya kedodoran bayar SPP karena bersinggungan dengan perjalanan ini (saya malas cerita detailnya). Dan itu adalah sebuah bukti bahwa saya belum berhasil memilih prioritas dalam sejumlah pilihan.


Yang kedua, pulang dari Ujung Genteng saya sakit seminggu, perut kembung dan maag (sepertinya). Ini menjadi sebuah pertanyaan besar, bagaimana mungkin saya melakukan perjalanan kembali setelah dua kali mengalami sakit pascaperjalanan (sebelumnya saat pulang dari pulau sempu).


Bayar SPP sudah beres dan sakit sudah sembuh. Tapi saya kembali bertanya, apakah saya sesungguhnya telah siap fisik dan mental dalam melakukan setiap perjalanan? Apakah saya benar-benar naik satu level kemandirian dalam perjalanan ini?



Jawabannya: jika seandainya ini adalah sebuah mata kuliah 3 sks, maka saya mendapat nilai E dan saya harus mengulang suatu saat nanti. Perjalanan ini tak lebih dari sebuah perjalanan yang kekanak-kanakan. Perjalanan ini gagal membawa saya menuju pribadi yang lebih baik. Saya, untuk sementara ini, adalah pejalan gagal.


Pfffhhh.... lelah sekali. Tapi setidaknya untuk mata kuliah Dasar-Dasar Mengambil Hikmah saya dapat nilai A, hehehe...