Senin, 28 Februari 2011

Toy Story's Story


The King’s Speech boleh berbangga hati mendapatkan gelar Best Picture dalam ajang 83th Academy Awards yang baru dilangsungkan beberapa jam lalu.Yup, they deserved it. Tapi buat saya, diantara 10 nominator Best Picture dalam 83th Academy Awards, film yang paling nyantol di hati saya, ya, Toy Story 3. Sebenarnya tidak ada yang spesial, sih. Sebelumnya sudah pernah ada dua film animasi yang dinominasikan untuk Best Picture, yaitu Beauty and the Beast dan Up. Film sequel pun sebelumnya sudah pernah ada yang dinominasikan ke dalam Best Picture, seperti trilogi The Lord of The Rings atau trilogi The Godfather. 

Tapi tetap saja, buat saya Toy Story 3 tetap menjadi film favorit saya sepanjang satu tahun terakhir. Berikut beberapa alasannya:

1. It’s Disney Pixar’s
Klise memang. Tapi selera saya sudah terlanjur dibentuk sama film-film produksi Disney Pixar. Mungkin satu hal yang saya sukai dari film-film mereka, mereka selalu berhasil membawakan film animasi anak dengan sudut pandang yang sangat dewasa.

Jika saya harus mengurutkan film animasi kesukaan saya berdasarkan rumah produksinya, maka pertama saya pilih Disney Pixar, kedua saya pilih Disney Classic (yang animasi-animasi tahun 90-an), ketiga saya baru pilih Dreamworks, keempat yang lain-lain. Ternyata saya sudah loyal banget ya sama Disney Pixar? Hahaha...

2. Time Consistency
Saya sempat pesimis dan tidak yakin dengan sekuel ketiga dari franchise Toy Story ini. Bagaimana tidak, film ini berjarak 15 tahun dari film pertamanya . Apa nggak terlalu basi, tuh? Hahaha...

Tapi ternyata saya salah, karena film ini ternyata mengambil setting 15 tahun berikutnya. Sesuai dengan waktu kita. Kita bisa lihat di sini si Andy sudah beranjak remaja (mau masuk kuliah). Dan pada bagian awal film diperlihatkan video masa lalu Andy saat ia masih kecil dan bermain dengan mainan-mainannya. Adegan tersebut seolah mengajak kita memutar kembali memori saat kita menonton Toy Story dan Toy Story 2.

Dan tiba-tiba saya langsung merubah pandangan. It’s brilliant (meskipun ini bukan sesuatu yang baru). Saya suka dengan konsep perjalanan waktu ini. Seolah Toy Story franchise terus bisa hadir bersama kita. Perpisahan Andy dengan mainannya seolah menjadi perpisahan Toy Story dengan penontonnya. Bagi saya, Toy Story telah berhasil membuat sebuah tali penghubung kasat mata dengan emosi dan loyalitas penggemarnya.

3. It’s Our Generation Movie
Masih terkait dengan soal setting waktu Toy Story 3 yang berjarak 15 tahun dari versi pertamanya, saya tiba-tiba berfikir bahwa ini adalah film “Generasi Kita”. “Generasi Kita” yang saya maksud adalah generasi yang lahir antara tahun 1985-1995. Mengapa? Karena mereka yang lahir pada tahun tersebut berarti berusia antara 0-10 tahun pada saat film Toy Story pertama diputar. Dan berusia 15-25 tahun Pada saat Toy Story 3. 

Usia Andy pada saat masih kecil di Toy Story adalah mendekati usia para “Generasi Kita”. 15 tahun kemudian, saat Andy mau masuk kuliah di Toy Story 3, para “Generasi Kita” pun ada yang mau masuk kuliah, sedang kuliah, atau baru selesai kuliah.

Yup, Andy adalah representasi dari “Generasi Kita”, dan Toy Story adalah film untuk “Generasi Kita”. Cool.

4. It’s darker than Shawshank Redemption or Prison Break
Salah satu adegan utama dari Toy Story 3 adalah bagaimana Woody dan kawan-kawan berusaha bertahan dari bullying mainan lain serta kabur dari “penjara” Sunnyside. Sudah banyak film yang mencoba mengangkat persoalan kabur dari penjara. Sebut saja Shawshank Redemption atau serial TV Prison Break. Tapi buat saya, bullying yang terjadi di Toy Story 3 jauh lebih kelam dari kedua film di atas. Mengapa? Sederhana saja, mereka semua adalah mainan. Mainan itu bersifat innosenct. Jadi, melihat Ken (Barbie cowok) berjudi di atas mesin penjual snacks, bullying oleh bos beruang jahat, atau adanya penjara dari keranjang mainan, whooa, itu dua kali lebih kelam. Plus, itu semua dilakukan di Taman Kanak-Kanak. Tempat yang seharusnya penuh keceriaan. Jadinya tiga kali lebih kelam.

Masih ingat adegan Woody dkk. hampir kegiling di tempat pembuangan sampah?  Wow, itu terasa kejam mengingat di film ini, semua mainan adalah ‘makhluk hidup’.

5. It tears me up
Pertama, saat flashback cerita si beruang ungu, bayi, dan badut. Bagaimana mereka ‘tidak sengaja’ dibuang oleh pemiliknya. Bagaimana mereka berusaha kembali ke rumah pemiliknya. Bagaimana ternyata pemiliknya telah memiliki boneka pengganti. Saya hampir menangis.

Kedua, saat Andi memberikan semua mainannya ke anak tetangganya. Bagaima ia sempat tidak rela memberikan Woody ke anak tetangganya. Bagaimana ia akhirnya harus melepas semua mainannya. Bagaimana Woody dkk terbangun dan ia bilang “so long, partner” kepada mobil Andy yang mulai menjauh.

Hiks. Saya pun bercucuran air mata. Bahkan saat menonton ulang yang kedua dan ketiga kalinya.

***
Seperti yang saya bilang sebelumnya, film ini cocok dilihat oleh semua umur. Bagi anak-anak, mereka akan membaca film ini sebagai petualangan Woody dkk. dan melihatnya sebagai sebuah pesan moral untuk selalu menjaga seluruh mainannya dengan penuh kasih sayang. Yup, itulah yang akan terlihat oleh anak-anak zaman sekarang, atau, saat “Generasi Kita” menonton Toy Story 15 tahun yang lalu.

Tapi “Generasi Kita” saat ini akan melihat Toy Story 3 jauh berbeda saat 15 tahun yang lalu. Pesan yang kita lihat bukan lagi bagaimana kita harus menjaga mainan milik kita, melainkan, kita seolah disadarkan bahwa 15 tahun telah berlalu dan tanpa sadar, kita bukan lagi berada dalam tahap kanak-kanak. Kita telah menjadi dewasa. Dan kita harus melepaskan masa kanak-kanak kita.

Maka, adegan saat Andy memberikan seluruh mainannya kepada anak tetangganya, menurut saya itu adalah simbolisasi dua hal. Pertama, adegan tersebut seolah mengingatkan bahwa sudah saatnya “Generasi Kita” mulai menjadi dewasa dan melepaskan masa kanak-kanaknya. Kedua, sudah saat nya “Generasi Kita” menjadi generasi yang memberikan sesuatu kepada “Generasi Baru”, bukan lagi generasi yang menerima.

Terasa sangat dalam ketika Woody terbangun dan melambaikan tangannya kepada mobil Andy yang menjauh dan berkata "So long, partner". Seolah mereka juga melambaikan tangannya ke kita untuk berpisah. Maka kita pun juga akan melambaikan tangan kepada film yang menemani kita selama 15 tahun ini, "Yes, Toy Story. It's so long...."

__________________________________________________________________________
Image source: Wikipedia

*Haduh... kapan ya saya mau mulai nulis tentang Lawu? 

Sabtu, 26 Februari 2011

Wildlife Management

Saya tidak pernah bilang kalau saya memiliki passion untuk melakukan outdoor activities. Percayalah kawan, saya adalah 99% anak rumahan, yang bisa bertahan hidup asalkan ada sebongkah televisi berwarna dengan minimal 10 channel dan setidaknya ada 3 jenis snack yang berbeda setiap harinya. Saya ingat betul, terakhir kali saya doing something di luar ruangan adalah saat saya KKN antar semester kemarin. Sisanya selama 6 bulan terakhir ini saya mengejar sejumlah target akademis yang, Alhamdulillah, saya berhasil mencapai target tersebut. Meskipun, sedari dulu saya sangat menyadari bahwa mengejar tujuan akademis bukanlah segala-galanya. Terbukti ada sesuatu yang saya rindukan dalam 6 bulan terakhir ini.

Maka, menjadi sebuah angin segar bagi saya ketika seminggu yang lalu saya mendapatkan ajakan dari teman saya, Munadi, untuk mendaki Gunung Lawu bersama kedua teman saya yang lain, Indra dan Satria. Hell yeah, dengan mantap saya menerima ajakan tersebut. Sudah pasti saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. This will gonna be fun, gumam saya dalam hati. Padahal saya tidak tahu kalau nantinya pendakian ini akan menjadi sebuah mimpi buruk yang menyenangkan.

Pendakian di Gunung Lawu ini akan menjadi pendakian pertama dalam hidup saya. Selain itu, hal lain yang menarik adalah kami berempat (saya, Munadi, Indra, dan Satria) sama-sama berasal dari Jurusan Manajemen, namun masing-masing dari kami mewakili empat konsentrasi yang berbeda. Saya sendiri dari manajemen pemasaran, Munadi dari manajemen keuangan, Indra dari manajemen sumber daya manusia, dan Satria dari manajemen operasi. Sepertinya akan sangat menarik jika melihat pendakian ini dari masing-masing perspektif konsentrasi yang kami ambil. Terkesan lebay mungkin. Tapi, hey, kami berempat adalah mahasiswa tingkat akhir yang tak lama lagi akan memasuki kejamnya dunia yang sebenarnya. Jadi tak ada salahnya kami menjadikan pendakian ini sebagai pijakan awal untuk menuju ke sana, bukan?

Pendakian ke Gunung Lawu ini hanya memakan waktu 3 hari 2 malam (20-22 Feb 2011). Namun entah mengapa bagi saya itu menjadi perjalanan yang panjang. Sehingga saya berencana menuliskan pendakian ini ke dalam empat bagian cerita pendek. Cerita, lho, bukan artikel perjalanan. Jadi jangan kaget kalau nanti tulisan saya cenderung deskriptif daripada informatif.

Part 1: Minggu, 27 Feb 2011
Part 2: Senin, 28 Feb 2011
Part 3: Selasa, 1 Mar 2011
Part 4: Rabu, 2 Mar 2011

Sepertinya ini akan terasa berat bagi saya. Sudah sekian minggu saya tidak menulis blog. Apalagi belakangan ini saya diserang penyakit malas. Skripsi tak kunjung dimulai (baru minggu depan), malah maraton nonton How I Met Your Mother. 

Tak apalah, saya coba saja. Sepertinya akan menjadi cerita yang panjang...