Senin, 23 Februari 2009

Understanding Koplak (Part II)

Photo: Koplak & Navan
Editing & Text: Navan

________________________________________________________________
Day 2

Hari kedua Koplak di Jember dimulai dengan tujuan ke Rembangan. Berkebalikan dengan kemarin yang berkutat di pantai selatan, Rembangan merupakan daerah dataran tinggi di Jember. Di sana hanya ada satu hotel kecil dengan taman dan pemandian.

Perjalanan menuju ke Rembangan sangat sesuai dengan selera koplak yang cenderung suka dataran tinggi. Dia sangat menikmati pemandangan perbukitan dan persawahan. Berkali-kali ia mengambil gambar di padang rumput dan padang tebu. Namun ketika sampai di pemandian rembangan, dia tidak tertarik. Wajar, sih, karena rembangan hanya sebuah hotel dan kolam renang biasa, yang hanya bermodalkan pemandangan dataran tinggi.

Saat itulah, si koplak tertarik untuk menaiki jalan setapak kecil yang ada di sebelah hotel. Jalan setapak itu ternyata tembus menuju ke perkebunan kopi, yang seandainya kita berjalan terus, mungkin akan menuju ke puncak bukit. Ternyata bagi koplak, menyusuri perkebunan kopi merupakan keasyikan tersendiri. Saya juga menikmatinya. Justru menyusuri kebun kopi yang masih asri dengan bau khasnya, bersapa dengan para pekerja kebun kopi, serta duduk di gubuk-gubuk yang tersedia sambil melihat kota Jember dari atas bukit, menjadi suatu pengalaman yang unik.
4. Saya rasa koplak memiliki salah satu bakat menjadi traveler. Ia memiliki intuisi yang bagus untuk melihat suatu tempat dari sisi lain.


Gerimis datang saat kami berada di tengah kebun kopi. Untung ada gubuk kecil. Ketika berteduh, kami bertemu dengan seorang kakek yang habis mencari rumput untuk sapinya. Terbentuklah sebuah obrolan aneh dari kami bertiga. Ia memperingatkan kami untuk tidak berfoto di bawah pohon besar, karena ia tahu bahwa setiap pohon besar pasti ada yang menunggu. Hiiii...

Setelah pulang ke rumah dan makan bakso sebentar, kami melanjutkan perjalanan kami ke bandara Noto Hadi Negoro. Kami hanya melihat sebentar, karena bandar udaranya masih baru. Hampir tidak ada apa-apanya di sana. Untungnya sekali lagi kami di suguhkan pemandangan yang menarik. Di sana semacam ada padang rumput dengan tumbuhan-tumbuhan yang unik. Kami tak menyia-nyiakan waktu untuk mengambil gambar.




Akhir dari perjalanan kami adalah Glantangan Golf. Layaknya lapangan golf lain, lapangan golf ini juga menawarkan pemandangan yang menarik. Rimbunan pohon yang membatasi anatar course membuat area golf ini menjadi sejuk. Maklumlah, Glantangan Golf berada di tengah-tengah area pekebunan PTPN. Otomatis, jalan menuju ke sana juga tak kalah mempesona. Untuk menuju ke arahnya kami seolah melewati terowongan hutan karet. Apalagi saat itu sedang gerimis, sehingga kabutnya di terowongan hutan karet seolah membuat Glantangan Golf menjadi derah antah berantah.



Sekalipun Glantangan Golf menjadi tujuan terakhir, tetapi kami tetap menemukan beberapa hal menarik. Seperti saat berangkat menuju Glantangan kami melihat matahari sore di tengah mendung, sehingga berkas cahayanya terlihat. Dengan posisi di atas hamparan sawah hijau, kami berusaha mengabadikan momen tersebut.


Pulangnya kami menyempatkan diri ke rumah lumbung padi yang gampang ditemui di Jember. Karena kami mengunjungiya tepat saat sunset, lumbung padi tersebut jadi terasa sangat istimewa. Cahaya oranye berpadu dengan hijau sawah, menjadi latar dari lumbung padi tersebut. Dua pemandangan sebelum dan sesudah dari Glantangan Golf ini memberi pesona sendiri bagi Koplak, karena keduanya memberikan pesona langit. Dan Koplak adalah penggemar langit lebih dari siapapun.
5. Koplak adalah pengagum langit. Sebagus apapun objek fotonya, selama langit indah menjulang sebagai latarnya, maka 2/3 dari foto tersebut akan ia porsikan untuk langit.


to be continued...

Understanding Koplak (Part I)


Photo: Koplak & Navan
Editing & text: Navan

____________________________________________________________________

Lima hari dari dua minggu liburan semester kemarin saya habiskan dengan menemani teman yang sedang berkunjung. Dia teman kuliah saya di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Namanya Adi. (Panjangnya, sih Adiputera siapa... gitu!). Nama yang sangat bagus, tetapi entah mengapa teman-teman memanggilnya dengan “koplak”. Tak perlulah saya bercerita panjang lebar tentangnya, sebab baru tiga semester saya berkenalan dengannya. Tetapi kunjungannya ke Jember membuat saya semakin memahami dan mengenal lebih dekat seorang Adi Koplak.


____________________________________________________________________

Liburan kemarin Koplak benar-benar berniat menghabiskan liburannya di Jawa Timur. Impiannya antara lain mengunjungi Bromo dan Pulau Sempu. Sementara bermodalkan sejumlah tabungan serta sejumlah perlengkapan, Koplak sama sekali tidak memiliki kenalan di Jawa Timur. Ia sendiri berasal dari Jakarta dan baru dua tahun terakhir pindah ke semarang. Pada akhirnya, ia menjadikan tempat tinggal saya sebagai persinggahan pertama sebelum memulai petualangannya di Jawa Timur.

Jember, day 1

Cerita dimulai pada hari pertama Koplak datang dengan kereta dan sampai di Jember pukul 3 pagi. Tetapi karena tertidur, saya baru bisa menjemputnya pukul 5 pagi. Keterlambatan saya tidak mengganggunya, ia malah menikmati suasana stasiun.
1. Koplak sangat suka stasiun. Punya impian mendokumentasikan foto setiap stasiun. Dirinya bahkan pernah semalaman di stasiun hanya untuk menikmati suasana stasiun.
Setelah ke rumah, berkenalan dengan ibu, kakak, dan adik, serta sarapan teh dan jajanan pasar, saya sempat mengajaknya berputar kota mengelilingi alun-alun kota dan kampus Universitas Jember. Mungkin karena dia kelelahan, kami kembali ke rumah dan akhirnya dia tidur sebntar.


Siangnya, saya mengajak Koplak ke pantai selatan Jember, antara lain pantai Watu Ulo dan Tanjung Papuma. Tapi sebelumnya saya mengajaknya ke Kaliwining, daerah perkebunan kopi dan kakao tempat ayah saya bekerja. Kami sempat mengambil foto di hutan karet , bermain di rumah lama saya (baca posting: Time machine), sholat dzuhur di masjid, dan berfoto di persawahan. Ia cukup menikmati, karena di daerah ini lumayan banyak spot kebun, hutan, dan sawah, sementara ia sangat menggemari panorama alam. Perjalanan kami di Kaliwining sebagian kami habiskan dengan berfoto.


Perjalanan kami lanjutkan ke pantai Watu Ulo. Di sini kami menyempatkan diri makan Ikan Bakar di warung. Sambil ditemani suasana pantai yang sepoi-sepoi, kami menikmati satu ikan bakar utuh plus sambel tomat, sambel sate, dan lalapan segar. Ikan bakarnya begitu empuk dengan bumbu bakrnya yang meresap. Sambal tomatnya yang kasar tidak usah diragukan lagi. Sementara sambal satenya yang awalnya sempat kami ragukan, ternyata terkuras habis karena memang cocok dengan ikan bakarnya. Sempurna!


Perjalanan kami lanjutkan ke Tanjung Papuma. Tanjung papuma terdiri dari sebuah bukit dan pantai pasir putih. Untuk mencapai pantai pasir putih, kami harus melewati bukit dengan jalan berkelok. Namun perjalanannya tidak lama, sekitar lima menit. Begitu tiba di sana, Adi Koplak dengan puasnya menikmati dengan memotret sejumlah objek. Pantai Papuma memang memiliki pemandangan yang cukup memuaskan. Sekalipun ini pantai mainstream yang banyak pengunjung. Tetapi pesonanya masih dipertahankan oleh perbukitan yang mengelilinginya. Oh,ya! Tidak lupa Koplak beberapa kali berfoto narsis.
2. Koplak narsis parah. Dia butuh teman perjalanan ‘hanya’ untuk memotret dirinya. Gaya yang paling disuka adalah gaya james bond.
Pulangnya, saat kami melewati bukit lagi, kami menyempatkan diri untuk berhenti, melihat pemandangan pantai dari puncak bukit. Selain bukitnya yang sejuk, pemandangan pantai papuma tak kalh indahnya saat dilihat dari atas bukit. Tak menyesal kami mengunjungi tempat ini.

Selesai solat ashar di pantai, kami melanjutkan perjalanan pulang dengan ditemani hujan deras. Sementara saya mengutuk hujan , Adi koplak malah tertawa senang. Seru, katanya. Benar kata kakak saya, ia seorang masokis. Entah apa yang terjadi perjalanan saya keesokan harinya bersama seorang masokis...
3. Yups! Koplak seorang masokis. Mendapat kepuasan jika tersiksa. Aneh.
To be continued...

Senin, 16 Februari 2009

Indonesia Medical Tourism

Berbicara mengenai pariwisata di Indonesia, dalam salah satu artikel yang ditulis oleh Rhenald Khasali pada National Geographic Traveler Indonesia edisi perdana, dikatakan bahwa Indonesia sudah selayaknya tidak hanya mengandalkan wisata alam dan budaya (Cultural and natural Tourism)semata pada program pariwisatanya, namun akan lebih baik jika diperluas dengan menawarkan jasa wisata kesehatan atau pendidikan (Medical and Educational Tourism).

Lah, aku langsung teringat ke negeri sebelah bernama Singapura , yang lekat dengan pariwisata kesehatan dan pendidikannya. Ceritanya mau niru Singapura, nih, Om Rhenald? Bukannya pesimis, nih, masalahnya dari segi teknologi kesehatan Indonesia masih kalah sama Singapura. Lha, wong pasien Indonesia yang kaya saja pada berobat ke Singapura.

Tapi kalau dipikir-pikir, Indonesia bisa saja membuat wisata kesehatan dengan cara tersendiri. Jika Singapura menawarkan teknologi kesehatan dalam paket medical tourismnya, Indonesia bisa memanfaatkan kekayaan biodiversitas flora yang dimiliki untuk membangun sebuah konsep wisata kesehatan alternatif. Indonesia bisa menawarkan wisata kesehatan dengan ramuan-ramuan herbal tradisional seperti jamu atau semacam terapi kesehatan dengan konsep Back to Nature.

Bagaimana tidak, Indonesia merupakan negara pringkat kedua dunia dalam biodiversitas tumbuhan. Dari segi geografis, Indonesia dianugerahi posisi yang diapit oleh dua benua yang masing-masing memiliki varietas tumbuhan yang berbeda. Hasilnya, ada sekitar 6000 jenis tanaman di Indonesia yang merupakan medical plants yang sebagian biasa diolah menjadi jamu.

Saya bisa membayangkan, ketika teknologi kesehatan tidak mampu memberikan yang terbaik kepada suatu pasien, umumnya pasien tersebut tentu akan berpilihan pada dua hal, menyerah atau berusaha dengan menggunakan pengobatan alternatif seperti terapi atau pengobatan herbal. Selain menjadi alternatif, pengobatan herbal memberi sebuah sugesti, bahwa kita, sebagai makhluk alam sudah selayaknya berharap kembali ke alam. Bahkan bagi seseorang yang sudah tidak ada pertolongan lagi, maka wisata alam di Indonesia akan menjadi suatu wisata pengobatan rohani, bagaimana ia akan menghabiskan sisa hidupnya dengan mengembalikan diri ke alam. Setidaknya selama Tuhan masih menumbuhkan tumbuhan, dan masih menganugerahi Indonesia dengan kekayaan alamnya, maka pengobatan alami masih akan terus dicari.

Konsep ini sebelumnya telah dijalankan salah satu perusahaan kosmetik di Indonesia, dengan membuat semacam kawasan agrowisata jamu dan herbal, yang bahkan di dalamnya dibuat semacam spa therapy dengan menggunakan bahan-bahan alami.

Jika Indonesia akan menjalankan konsep alternative medical tourism ini, maka konsekwensi yang akan terjadi adalah konsep ini terancam oleh lingkungan dan akan mengancam lingkungan. Terancam lingkungan karena, saat Ini Indonesia sedang mengalami degradasi lingkungan, seperti terhimpitnya ruang lingkungan dengan jumlah populasi, hingga perusakan alam. Padahal konsep wisata ini sangat bergantung terhadap lestarinya lingkungan. Di sisi lain, Konsep ini juga mengancam lingkungan karena, jika suatu lahan ekosistem dibangun atau dipakai untuk sesuatu (dalam hal ini dipakai untuk bisnis pariwisata) tanpa menggunakan prinsip lingkungan yang berkelanjutan, maka dapat dipastikan terjadinya kerusakan ekosistem tersebut. Untuk mencegah kedua dampak tersebut, maka Indonesia wajib mempertahankan kelestarian lingkungan serta keragaman nabati yang dimilikinya.

Menarik jika Indonesia mampu menjalankan konsep ini. Bayangkan Singapura dengan medical technologynya, sementara Indonesia dengan natural medicinenya. Akan terjadi suatu kawasan paket medical tourism yang saling melengkapi.

Akhir kata, kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya para ahli medis dan farmasi Indonesia, Mari bangkitkan kembali pengobatan tradisional Indonesia!

____________________________________________________________________
Nb: logo dan konsep cuma boongan, just my idea! ntar dikira beneran, lagi! Hehehe,,, Awalnya nama kampanye Indonesia Medical Tourismnya itu Herb for Heal. Sempet juga Herb for Hope. Ujung-ujungnya jadi Herb for Heart Cuma gara-gara ada logo hati di tengah! Hehehe...

Sejumlah referensi diambil dari wikipedia.

The Oherside of Watu Ulo


Lumayan, liburan semester ganjil dua minggu di Jember ini setidaknya salah satunya dihabiskan di Watu Ulo. Kemarin rabu diajak Oom Dwi sama Bulik Endang main-main ke Watu Ulo. Oia, kali ini barengan sama Mas Ayos, Ndondo, and my cousin, Sasa.

Watu Ulo yang saya kenal itu watu ulo saat saya masih SD. Dulu sesekali sama keluarga rekreasi ke Watu Ulo. Kalo dihitung, jarang, sih! Soalnya kondisi Watu Ulo lumayan gersang. Biasanya sih lebih milih Pantai Papuma, pantai di sebelah Watu Ulo yang cenderung lebih rame dan banyak pepohonan. Itu juga ngga boleh renang, soalnya pantai selatan. Kalo mau renang, harus ke Situbondo, pantai pasir putihnya cenderung lebih aman, ombaknya lebih pelan, soalnya lautnya dari selat madura.


Kembali ke Watu Ulo, setelah sekitar 6 tahun nggak berkunjung, pantai Watu Ulo masih saja gersang dan berpasir hitam. Perubahannya menuju ke arah destruktif, karena cukup banyak sampah. Alhasil,berkali-kali motretin Watu Ulo, ngga banyak dapet foto yang bagus. (Watu Ulonya atau fotografernya nih yang kacau? Hahaha...)


Oia, watu ulo yang kami kunjungi ini watu ulo sebelah timur. Watu ulo yang lebih sepi. Selain gara-gara mas ayos ngga suka pantai yang mainstream, watu ulo timur free ticket dan lebih deket.


Cerita nggak berhenti sampai disini. Oom Dwi awalnya ngarahin mobil ke arah timur, berharap nemuin pantai baru lagi. Tapi jalan ke arah timur ngga menuju ke arah pantai. Selama perjalanan sebetulnya pantai ada di kanan jalan, tapi tertutup sama rumah-rumah penduduk.

Setelah ada halaman rumah penduduk yang berbatasan langsung dengan pantai, kami parkir sebentar. Pemandangan pantai di balik semak-semak terlihat biasa saja. Bahkan kali ini lebih banyak sampah plus sejumlah kambing. Lantas Oom Dwi ngasih pilihan, mau mampir ato langsung pergi?

Nah, saat itulah Mas Ayos langsung mengambil kamera. Dan dalam sekejap Mas Ayos langsung nerobos semak-semak. Entah kenapa, saya juga pengen ikut. saya menyusul mas ayos, sambil membawa kamera pocket. Ndondo juga nyusul. Ujung-ujungnya, Oom Dwi, Bulik Endang, sama Sasa Keluar semua, deh.

Nggak salah! setelah menerobos semak, ternyata ada akses ke pantai karang. Dan pemandangannya nggak usah diragukan lagi, puas banget ambil gambar-gambar di sana. Bener-bener sisi lain dari Watu Ulo. Silahkan menikmati hasil jepretan saya!



Senin, 09 Februari 2009

Time Machine


Dulu keluarga kami sempat punya rumah dinas di Kaliwining. Kaliwining itu daerah perkebunan kopi dan kakao tempat bapak kerja. Yup, ini jadi rumah kedua keluarga kami.

Keluaraga kami tinggal di Kaliwining cuma sampe kelas 6 SD. Setelahnya kami cuma punya satu rumah di Jember kota, yang kami tempati sampai sekarang. Kalau dihitung-hitung, sudah 6 tahun saya tidak berkunjung ke Kaliwining.

Akhirnya kunjungan kemarin ke Kaliwining, menjadi sebuah mesin waktu tersendiri bagi saya. Pemandangannya rata-rata masih sama. Masih dipenuhi hutan-hutan kecil serta kebun-kebun kopi dan coklat. Pohon beringin yang waktu kecil saya anggap angker, masih kokoh berdiri. Masjid kecil tempat biasa sholat magrib berjamaah juga masih ada.

Yang mulai berbeda, ada pabrik pengolahan coklat di sana. Mungkin baru dibangun beberapa tahun terakhir. Kebun pisang depan rumah juga sudah berganti dengan tanaman lain. Sekarang di sekitar Kaliwining banyak ditanami pohon buah naga.

Tapi perubahan yang paling bikin ngilu, perumahan dinas di Kaliwining sekarang kosong. Kata ibu, masyarakat rumah dinas Kaliwining banyak pindah ke Jember kota. Alhasil, Kaliwining sekarang sepi senyap. Nyaris tidak ada kehidupan selain kesibukan di kantor bapak.


Hal yang sama juga terjadi pada bekas rumah kami. Saat saya menyempatkan diri ke bekas rumah di Kaliwining, rumah tersebut kini kosong total. Bekas rumah dinas kami kini dijadikan pepondokan semacam wisma tamu. Hampir tidak ada perubahan lain kecuali rumah yang kotor dan berdebu. Catnya masih tetap kuning pucat. Halaman rumah semakin liar. Ketika saya mencoba mengintip ke dalam lewat jendela, kolam ikan besar buatan bapak masih ada.


Bukannya lebay, nih! Tapi sumpah, pas mengunjungi bekas rumah, secara otomatis memori saya langsung berputar ke masa lalu. Masih teringat dulu kami sering bolak-balik Jember Kota-Kaliwining yang berjarak sekitar 30 kilometer. Kalo berangkat ke sekolah harus naik bis kantor. ayang bikin males, bangun harus jam setengah lima, karena bisnya berangkat jam setengah enam. Kalau ketinggalan, resiko ditanggung sendiri. Jika dulu saya paling benci ke Kaliwining, gara-gara di sana membosankan, sekarang kebalikannya, malah rindu pengen tinggal di sana.


Masih dalam ingatan saat azan magrib berkumandang, saya harus ke masjid naik sepeda kira-kira 3 menit. Tapi pulangnya bisa lebih cepat, gara-gara ngebut kabur ketakutan pas lewat pohon beringin. Kata temen main di Kaliwining, di balik lebatnya pohon beringin dekat masjid, sering terlihat penampakan kepala mayat yang bergantung. Males!

Masih banyaklah kenangan di Kaliwining yang nggak bisa diceritakan satu persatu. Tapi bapak pernah bilang kalau bekas rumah kami bisa disewa untuk menginap semalaman. Jadi kami punya rencana, kalau keluargaku lagi pada ngumpul, kami mau menyewa bekas rumah kami di Kaliwining untuk dipake semalaman. Sip lah!