Rabu, 25 Maret 2009

Bercinta dengan Dieng

Photo by: Mas Jo, Wana, Koplak
Text & Editing: Navan

____________________________________________________________________

Ke mana Anda ketika valentine 14 Februari 2009 kemarin? Apakah dinner dengan pasangan, menonton film romantis, atau hanya melewatkan waktu berdua dengan sekedar mengobrol dengan pacar? Maafkan jika tulisan ini mengganggu para Jomblo yang menghabiskannya dengan sekedar menonton DVD atau menghabiskan malam minggu dengan guling di kamar. Saya tidak bermaksud mendiskriminasi, karena saya sendiri seorang Jomblo, yang dengan beruntung berkesempatan menghabiskan malam Valentine di Dieng Plateau, Wonosobo, Jawa Tengah.

Tentu saja saya tidak sendiri. Saya ditemani oleh teman-teman saya yang jomblo, yaitu: Mas Re, Mas Jo, Mas Pras, Adi Koplak, Zulfan, Wana. Iqbal tidak termasuk hitungan karena ia bukan Jomblo, tetapi malah menduakan sang pacar dengan memilih bercinta dengan Dieng. Kasihan yang punya pacar seorang Iqbal! Hehehe...

Perjalanan ke Dieng dimulai pada tanggal 13 Februari pukul 16.00, ngaret sekitar 2 Jam dari rencana semula karena Mas Jo ada kesibukan penting. Sehingga perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh sekitar tiga jam, jadi terhambat karena hari mulai malam dan tidak ada yang tahu pasti jalan menuju Dieng. Belum lagi Zulfan, Wana, Adi Koplak, dan saya sempat nyasar ke arah Semarang. Pantat yang terasa panas karena lamanya perjalanan pun akhirnya bisa diistirahatkan sejenak di warung mie ayam. Hujan deras yang menemani kami sepanjang perjalanan semakin menambah lezatnya mie ayam. Apalagi ini gratis traktiran Mas Jo!

Kami baru sampai di Dieng pukul 11 malam. Untuk mendapatkan kamar kami harus menggedor pintu penginapan karena penjaga penginapan telah tidur. Tetapi akhirnya kami mendapatkan 2 kamar dengan satu bed besar yang cukup didesaki 4 orang seharga 40 ribu rupiah per kamar. Sehingga setiap dari kami cukup membayar 10 ribu per orang. Lelahnya!

***

Esoknya, kami mengawali pagi hari di Dieng dengan mengejar matahari di bukit (maaf, nama bukitnya lupa, kita namakan saja bukit indah!). Pukul 5 pagi kami berangkat dari penginapan, dan segera bergegas menuju bukit Indah.Tentu saja keterburuan kami memakan korban. Ketika melewati jalan berlumpur, sepeda motor Adi Koplak yang membonceng saya jatuh terpeleset. Bahkan itu terjadi dua kali. Sandal biru yang dibanggakan Adi Koplak selama ini harus terputus sampai di sini. Selanjutnya ia terpaksa bertelanjang kaki.

Tak apalah, toh akhirnya pengorbanan itu terbayarkan dengan indahnya matahari yang terbit di balik gunung Sindoro. Sayang, saya agak melewatkannya. Ketika yang lain bersemangat menaiki jalan setapak, saya lagi-lagi harus berhadapan dengan musuh utama saya, Kolesterol yang menimbun di perut. Sehingga saat saya sampai, matahari telah sedikit tinggi, tapi saya masih bisa menangkap suasananya. Matahri berada di balik gunung Sindoro. Suasanya perbukitan dieng yang hijau. Angin pagi sepoi-sepoi. Sungguh mengesankan!


Perjalanan kami lanjutkan menuju kawah Sikidang, di sini kami hanya melihat layaknya kawah biasa. Di sana-sini ada bau belerang yang menyengat. Asap-asap kawah yang menyembul. Jika berdiri terlalu dekat kawah, mata agak sedikit perih. Selain berfoto, tidak terlalu banyak hal yang berkesan bagi kami. Mungkin karena kesan tersebut kami bandingkan dengan kesan saat matahari terbit tadi. Yang menarik, di sekitar kawah ada aliran air semacam sungai kecil yang sangat bening, yang jika dipadu dengan suasana kawah, menurut saya menjadi nilai plus.


Setelahnya kami sempat berkeliling Dieng sebentar. Siang nanti kami berencana ke telaga warna dan kompleks candi Arjuna, lantas dilanjutkan dengan perjalanan ke Kebumen untuk bermalam di tempat Iqbal, dan kami memutuskan untuk packing dan checkout dari penginapan terlebih dahulu sebelum jam 12 siang.
***

Setelah meninggalkan penginapan, kami langsung bergegas menuju kompleks Candi Arjuna. Eksotika Candi Arjuna menggoda kami untuk berfoto bersama. Secara objektif, Keindahan kompleks Candi Arjuna saya nilai masih kalah sedikit jika boleh dibandingkan dengan pesona kompleks Candi Ratu Boko. Hal ini mungkin dipengaruhi waktu juga. Saya ke kompleks Candi Arjuna ini saat tengah hari, sementara saya ke kompleks Candi Ratu Boko saat sunrise. Tapi faktor lain yang mengurangi pesona kompleks candi Arjuna adalah terhimpitnya kompleks tersebut dengan pemukiman penduduk yang semakin padat. Sungguh sangat disayangkan.

Setelah berpanas-panasan di bawah terik matahari di kompleks Candi Arjuna, suasana berbeda justru kami dapatkan di telaga warna. Kesejukan telaga warna dihasilkan dari rimbunnya pohon di sekitar telaga. Suasana yang begitu hijau membuat kami dengan nyaman berkeliling sekitar telaga warna. Sempat kami membaca brosur yang diberikan penjaga loket telaga warna. Komentar dari wisatawan mancanegara yang tertulis pada brosur itu mengatakan bahwa suasana telaga warna sangat mirip dengan New Zealand. Saya langsung mengiyakan dalam hati. Sekalipun saya baru melihat New Zealand hanya dari televisi!


Kecewa karena gua-gua di sekitar telaga warna ditutup, salah satu dari kami mengusulkan untuk menuju gardu pandang di atas bukit guna melihat pesona telaga warna dari atas. Kami berjalan menuju ke arah bukit, tapi tidak ada tanda-tanda menuju ke atas sana. Ternyata, menurut bapak-bapak yang kami temui, untuk menuju ke atas bukit kami harus ke luar telaga, dan di sana ada jalan menuju ke atas bukit. Saat kami tanya apakah ada jalan alternatif, sang bapak menjawab ‘ada’, dan kami dituntun ke arah jalan setapak di dinding bukit. Saya sendiri sempat khawatir naik jalan tersebut, karena menurut saya itu bukan jalan, tapi PANJATAN! Karena semuanya pada mau ke atas, saya terpaksa mengiyakan juga.

Kekhawatiran saya terbukti. Untuk yang kesekian kalinya, kolesterol menjadi penghalang. Sekali dua kali saya hampir terperosok jatuh, dan si koplak yang kebetulan di belakang saya dengan sigap menahan pantat saya yang empuk tapi berat. Maaf, Plak!!

Sementara saya mengutuk bapak-bapak yang memberitahu jalan tadi. Masalahnya , jalan tersebut semakin ke atas semakin buntu. Mau lanjut, cukup berat. Mau turun, tanggung! Terpaksa Mas Pras, Iqbal, Zulfan, dan lainnya bergantian membuka jalan dengan menebas semak-semak. Zulfan punya pengalaman sendiri dengan batu besar yang terjun bebas di sampingnya, sementara Koplak harus berterima kasih dengan mas Pras yang menemukan kameranya yang jatuh tanpa di sadari.


Setelah bersusah payah memanjat, ketika samar-samar melihat tanah datar kami langsung bersemangat. Yups, puncak bukit telaga warna akhirnya kami capai. Tentu saja hasil yang kami dapatkan bisa mengganti segala perjuangan kami. Bahkan lebih! Kami dapat melihat telaga secara keseluruhan. Warna hijaunya berbaur dengan panorama pepohonan yang mengelilinginya. Dilatari langit mendung yang menandakan akan hujan. Angin segar berhembus di belakang kami. Dalam sekejap segala keringat hilang dengan munculnya perasaan puas dan lega. Berada di puncak bukit telaga warna menurut saya merupakan klimaks dari perjalanan kami di Dieng.



***
Ah, kalau dihitung, tak sampai satu hari kami berada di Dieng. Sementara banyak pesonanya yang kami belum gali. Air terjun, telaga-telaga lain, hingga reruntuhan kolam pemandian kuno. Itulah kelebihan dari sebuah tempat bernama Dieng Plateau. Cukup dalam satu kawasan tersebut, ada berbagai tempat menarik yang layak didatangi. Rasanya jika ingin menggali seluruh Dieng, tak cukup hanya satu hari.

Yang sangat disayangkan, Dieng kini terhimpit oleh laju pertumbuhan rumah penduduk yang semakin tak terkendali. Adapun perluasan ladang membanjiri bukit-bukit di dataran tinggi dieng. Jangan heran jika saat musim hujan terjadi satu-dua kali longsor pada dinding-dinding bukit di Dieng. Selain itu eksploitasi sumber daya alam di Dieng membuat sejumlah pipa-pipa gas dan uap dengan bebas terlihat di sana sini. Tak enak dipandang, beresiko pula. Entahlah, jika masih dibiarkan, pesona alam Dieng akan luntur dimakan waktu. Semoga saja tidak!

Setengah hari berkenalan dengan Dieng sudah cukup membuat saya cinta mati dengannya. saya tak menolak jika suatu saat ada yang mengajak saya bercinta dengan Dieng lagi. Sebab Dieng layaknya seorang putri yang sangat cantik, kita tak akan pernah bosan bercinta dengannya.


____________________________________________________________________
bersambung: bercinta dengan kebumen.

thx buat Mas Re, Mas Pras, Mas Jo, Zulzi, Koplak, Iqbal, Wanarma. perjalanan yang SANGAT menyenangkan! saya sangat merindukan perjalanan seperti ini lagi. kapan kita berjalan-jalan lagi?
buat Mas Jo, Wana, Koplak: maaf, ya foto indah kalian saya edit sembarangan! ^^

8 komentar:

Journal Kinchan mengatakan...

ayo bercinta dengan dieng lagi mas navan... kali ini aku pengen ikutan ... :(

Dzulfan mengatakan...

Mantap tulisanmu !!!!

trutama photonya yg paling atas ^^

Setuju bgt dieng bagaikan putri cantik (kecuali di bagian kawah, klo diibaratkan seperti kentut sang putri : baunya amit2)...


ayo qta jalan2 lagi navan, smoga kmu g kapok walo jatuh 3x sehari...



salute.........

Ayos Purwoaji mengatakan...

uuuh kapan-kapan saya juga mau bercinta dengan dieng ah! jadi semakin penasaran...

Fu! mengatakan...

navan.. foto2nya selalu cantik banget. bahasanya selalu meaningful dan puitis.. hehe suka suka suka baca blogmu.

Anonim mengatakan...

wah nabun iki judule benar2 memberikan hasrat untuk ketawa ki

sial tapi aku diomong satu2nya jomblo


siap2 liburan lagi bersama CLR

Sasmita Dini mengatakan...

ciee zul jadi cover boy
wihiiii prikitiw prikitiw

hahha

Navan mengatakan...

@ kin2
ayo, ke dieng lagi. tapi kamu yang bayarin! hahaha... tapi aku masi trauma naek otor jauh-jauh, ni...

@zulfan n mbak dini
aduh, foto yang paling atas saya masangnya terpksa! hahaha...

@mas ayos
ayo ke dieng!

@farrah
thanks farrah. pujianmu sangat berarti. ditunggu saran kritiknya.

@anonim
ini iqbal, ya?

Gilang Andi Pradana mengatakan...

nabun!! makasih ya udah mampir.. sori gw ud jarang update nih.. skalian mau kasitau gw pindah ya ke http://gilangandi.com .. tolong diupdate temankotak nya hehehe.. makasih!