Senin, 02 Maret 2009

Weird is Beautiful


Saya puas bisa berkesempatan menonton sejumlah film dalam satu minggu terakhir ini. Kuliah belum terlalu memanas, kesibukan belum terlalu menyesakkan dada, saat yang tepat mencari sejumlah hiburan dan belajar banyak darinya.

Tiga film terbaik yang saya tonton pada minggu ini adalah Wall-E, The Curious Curse of Benjamin Button, dan Crash. Satu perasaan yang menghubungkan ketiga film itu adalah ‘aneh’!

Aneh bukanlah kata yang buruk, ini adalah kata yang menjelaskan perasaan yang tercampur aduk. Tak dapat diungkapkan dengan kata-kata, tetapi dapaat diekspresikan dengan dahi yang mengerenyit, dan detak jantung yang sedikit lebih cepat.

Itulah aneh. Itu bukan sesuatu yang buruk. Percayalah, ketiga film ini adalah yang terbaik yang saya tonton dalam minggu ini!

***

Beberapa film tentang robot yang terakhir saya lihat adalah I-Robot yang dibintangi oleh Will Smith, film animasi ‘Robots’, dan yang masih cukup fresh adalah Transformers yang dibintangi oleh Shia LeBouf. Itu baru tiga dari sekian banyak film robot yang dibuat. Minggu kemarin saya juga baru saja ke pameran tentang robot bersama kakak saya.

Tapi entah mengapa begitu melihat film Wall-E, saya seolah disuguhi sajian robot yang berbeda. Memecah mainstream film robot yang selama ini identik dengan bentuk-bentuk tertentu dan fungsi-fungsi tertentu. Mungkin saja ini disebabkan karena sisi humanis robotlah yang disorot dalam Wall-E. Ini sekaligus membuat Wall-E semakin fiktif, karena robot yang kita kenal adalah mesin dengan fungsional menyerupai manusia namun tidak akan pernah memiliki hati layaknya manusia. Tetapi semakin fiktif juga bukan masalah. Bukankah selama ini kita telah disuguhi berbagai fiksi yang indah.

Bagi saya, humanisme dalam Wall-E bagaikan peri dalam dongeng. Sangat fiktif, namun indah.


Terlepas dari karakter, cerita yang terpapar dari awal hingga akhir sangat memberi kesan tersendiri bagi saya. Jujur, saya selama ini cukup muak dengan segala hal yang berbau save the environment, karena seolah peduli lingkungan hanya tren semata, apalagi sejak isu global warming. Kesan pertama saya terhadap film ini hanyalah film animasi tentang robot pembersih sampah yang bercerita tentang rusaknya bumi di masa depan. Sesuai tren.


Ternyata saya salah. Memang, ketika adegan aksi kejar-kejaran antar robot, kisah cinta antara Wall-E dan Eva, merupakan hal biasa yang sering ditemui dalam film animasi lain. Tetapi saya sangat suka dengan detailnya, yang aneh tapi indah. Mulai ketika disorot sebuah I Pod yang telah menjadi barang kuno, manusia yang berevolusi menjadi gendut karena malas, musik latar tahun 60an dalam pesawat luar angkasa (kaset yang mengiringi wall-E), Hingga bagaimana manusia “kangen” sama bumi. Saya langsung mengernyitkan dahi sambil tersenyum. Ya, Wall-E dipenuhi oleh adegan yang aneh namun terasa sangat indah.

Jangan lupa satu adegan yang ‘aneh mempesona’ (istilah baru, hehehe...). yaitu credit title, di mana diceritakan manusia kembali ke bumi dan memulai kehidupan dari awal. Diilustrasikan dengan animasi kartun gua, lukisan mesir, motif kaca gereja abad pertengahan, masa percetakan, hingga ala lukisan van gogh sambil diiringi lagu “down to earth”.

Komentar terakhir saya, Wall-E seolah menjawab pertanyaan klasik, untuk apa manusia diciptakan di bumi? Yang mana jawaban tersebut untuk seluruh umat manusia, untuk agama apapun, bahkan mereka yang atheis sekalipun.

***

Film kedua, The Curious Case of Benjamin Button, kisah fiksi yang menceritakan seseorang yang mengalami kebalikan usia, lahir sebagai bayi dalam fisik tua, dan dalam perjalanan hidupnya semakin muda. Sekilas film ini mengingatkan saya kepada Forest Gump. Sama-sama menceritakan kisah manusia yang berbeda dari yang lain, dan berpetualang menjalani hidup.

Tema yang unik membuat saya tertarik untuk melirik film ini. Tetapi sungguh, ketahanan saya diuji. Karena ternyata selain durasinya yang cukup panjang (hampir 3 jam), setengah bagian pertama film bagi saya cukup membosankan. Bahkan jujur, ada bagian-bagian seperti saat di laut, yang saya skip karena bagi saya bertele-tele (maafkan saya, ya!). Sisanya saya jalani dengan penuh tabah.

Ketabahan saya berbuah hasil, karena setengah bagian akhir film sangat memuaskan saya. Lagi-lagi di setengah bagian akhir film ini saya mengernyitkan dahi. Saat kecelakaan Daisy di Perancis, yang terkaitkan oleh teori Benjamin akan accident design. Saat kisah cinta Daisy yang semakin tua kepada Benjamin yang semakin muda. Hingga detail setting film ini sehingga saya begitu menikmati perjalanan waktu dari tahun 1918 hingga 2008 ini. Semua terjadi begitu aneh, namun indah.

Aneh juga rasanya melihat Cate Blanchett yang mampu memerankan Daisy dari usia 20an hingga paruh baya. Sementara melihat brad Pitt berperan sebagai Benjamin dari kakek-kakek hingga layaknya American Teens lainnya. Dengan make up artist profesional, mereka berdua seolah membuktikan kepiawaian mereka dalam memerankan peran segala usia.

Sama seperti Wall-E, film ini ditutup dengan indah. Sebelum credit title, terdengar narasi dari benjamin Button, sambil mengenang mereka yang telah menjadi bagian hidupnya. That’s my best scene!


Komentar Terakhir, The Curious Case of Benjamin Button tidak memberikan sebuah pesan. Film ini justru membuat kita semakin mempertanyakan dan merenungi kembali eksistensi diri kita sebagai manusia. Film ini seolah memperlihatkan kita berbagai kejadian yang berkaitan dengan birth, death, age, time, life, destiny, dan segala hal dengan penuh anomali. Tinggal kita sendiri yang mengambil hikmahnya.

***



Film terakhir adalah Crash. Film ini berbeda dari kedua film di atas yang fiktif dan bermain dengan waktu. Crash menggambarkan persoalan rasisme di kalangan masyarakat Amerika dengan bersettingkan masa kini. Dengan cerita yang multiplot (tipe cerita yang saya suka), film ini menceritakan terjadinya berbagai permasalahan antar berbagai ras dalam waktu sehari.

Dua remaja kulit hitam yang terlibat pencurian mobil. Detektif kulit hitam dengan permasalahan akan keadilan. Seorang pengacara dan istrinya. Pria arab dan keluarganya yang mengalami teror rasis. Dua polisi yang berbeda pandangan akan ras, namun saling berbalik. Produser yang kerap mendapatkan masalah ras, dan istrinya yang mendapat pelecehan. Pria Hispanik yang baru saja lepas dari lingkungan buruk, namun keluarganya mendapat masalah.

Semua bertubrukan dan bergesekan dengan masalah-masalah rasialis mereka sendiri, namun terhubung dalam satu benang merah. Hingga setelah melihat kenyataan-kenyataan yang dipaparkan, justru terjadi area abu-abu antara yang benar dan yang salah.


Rasa aneh melihat bagaimana terkadang prasangka-prasangka antar ras mengubah segala hal dengan begitu cepat. Seorang polisi kulit putih pelaku pelecehan seksual berusaha menolong wanita kulit hitam yang justru menjadi korbannya. Sedangkan polisi yang tidak rasis, justru menembaki pemuda kulit hitam karena sebuah prasangka. Senjata yang tadinya digunakan seorang pria persia pemilik toko untuk melindungi ancaman rasialis ternyata disalah gunakan untuk membunuh seorang ahli kunci hispanik.

Bagi saya, film ini hampir dirusak dengan satu adegan yang memperlihatkan keajaiban, dimana seorang anak perempuan tertembak namun tidak terluka sama sekali. Sehingga yang tadinya seluruh film ini hampir berlandaskan rasionalitas, hampir ambruk. Namun ternyata keajaiban tersebut memiliki penjelasan yang rasional. Sehingga keutuhan film ini mampu dipertanggungjawabkan.

Komentar terakhir, entah mengapa saya selalu suka cerita dengan banyak tokoh dan multiplot. Namun terkadang cerita seperti itu harus berhadapan dengan permasalahan fokus cerita. Dan seandainya tidak berhati-hati, Crash bisa menjadi cerita yang simpang siur tanpa tujuan yang jelas. namun di sini Crash telah terselesaikan dengan apik, mengembangkan setiap permasalah dengan baik tanpa merusak fokus utama dari film ini.

***


Kini, Wall-E, The Curious Case of Benjamin Button, dan Crash menjadi jejeran dalam film favorit saya. Dan saya baru saja mendapatkan Slumdog Millionaire yang telah mendapatkan 9 oscar, serta film komedi keluarga Adam Sandler, Bedtime Stories. Kalau bagus, nanti saya akan buat resensinya minggu depan. tunggu saja!
___________________________________________________________________

Maaf saya tidak menampilkan data filmnya secara lengkap. Tetapi bisa dilhat di imdb.com.

Sumber Poster: http://www.impawards.com

6 komentar:

W. Darma mengatakan...

wwahhhhh...
kayaknya crash pernah nonton deeehh..
di TV...

jadi pingin nonton yang Benjamin deehh...

thx buat resensinya bun

Navan mengatakan...

Boleh, klo mo ngopi aku ada dvdnya.
tapi hati-hati, wan! durasinya 3 jam, bo!!!
kalo kamu ga terlalu suka drama, usahakan nonton benjamin button abis bangun tidur, pas lagi seger-segernya.
cari posisi nyaman tapi jangan megang bantal. ntar ngantuk.

W. Darma mengatakan...

asemm...se lebay tulisan lo kah film ituh??
gw tahan koo.. tapi asal jangan pas bangun tidur ja nontonya, ntar tidur lgg..harus malem kayaknya nontonya..ahihihihi

ntar copy ya bun...

Bang Mupi mengatakan...

Film yang monoton sebenarnya. tapi meninggalkan renungan buat kita.
Salam kenal :)

Ayos Purwoaji mengatakan...

aku dah liat yang benjamin, mmm tiga bintang lah... make-up artistnya emang keren...

film yang saya rekomendasikan untuk kali ini:
slumdog millionaire
seven pound
the reader

hehehe

Navan mengatakan...

Ok.. ok... 3 bintang!

slumdog dah liat. tapi pemujaanmu terhadap slumdog terlalu berlebihan...

the reader ma 7 pouds, tunggu aja!