Minggu, 19 April 2009

Long Road to Kebumen

Foto: Teman-teman.
Text & Editing: Nafan

____________________________________________________________________

Kebumen. Saya sudah dua kali mengunjungi kota kecil di selatan Jawa ini. Kunjungan pertama saat valentine day, yang merupakan perjalanan pulang dari Dieng. Kunjungan kedua adalah saat election day, saat di mana masyarakat indonesia sedang berpesta demokrasi, sementara saya dan teman-teman memanfaatkan liburan itu dengan main ke Kebumen.

Satu hal yang menjadikan Kebumen sebagai sasaran tempat liburan adalah karena banyaknya teman saya yang tinggal di kota tersebut. Sebut saja Iqbal, Taufiq, Mas Wiwid, Vena, Prima, dsb. Gampanglah, jika sekdar mencari tempat persinggahan saat mengunjungi kota Kebumen. Apalagi keluarga mereka yang begitu ramah.


Setiap kali ke Kebumen, saya selalu disambut dengan makanan khas kebumen, sate Ambal. Jangan samakan sate ini dengan sate biasa, karena keunikan dari sate ini adalah kuahnya yang terbuat dari bumbu tempe dan memiliki cita rasa yang sedikit manis. Cocok lah dimakan dengan nasi atau ketupat lontong. Konon kalau kita beli di daerahnya langsung, daerah Ambal, cita rasa sate yang kita dapatkan akan lebih
mak nyuss.


Sate Ambal

Dua kali saya ke Kebumen, empat kali saya dijamu sate Ambal. Wah, sampai blenger! Tapi jujur saja, buat saya sate Ambal sedikit terlalu manis. Sementara saya tidak terlalu suka manis. Tapi entah mengapa saya juga menghabiskan tusukan sate cukup banyak. Ah, sepertinya asal kenyang tak masalah, hehehe...

Tapi lain cerita ketika saya diperkenalkan oleh Kecap Kentjana, yang kata Mas Wiwid merupakan kecap kebanggaan warga Kebumen. Kecap Kencana seperti layaknya kecap asin biasa. Tetapi tidak terlalu asin, bisa dibilang gurih, lah! Rasa gurihnya sangat cocok dipadukan dengan rasa manisnya sate ambal. Sehingga permasalahan saya mengenai sate ambal telah terselesaikan dengan sempurna!


Mas Wiwid dan Kecap Kentjana

Jika kamu berjalan-jalan ke tengah kota Kebumen, satu hal menarik yang akan kamu temukan adalah berbagai simbol burung walet bertebaran di mana-mana. Yang paling mencolok adalah pada tugu kota yang terdapat patung manusia dan burung walet. Pada sejumlah lampu kota Kebumen pun berornamen burung walet. Kalau kamu ke alun-alun kota, simbol walet dengan mudahnya ditemukan pada pot bunga kota dan gerbang alun-alun kota.

Konon walet sendiri mudah ditemukan di sejumlah daerah di Kebumen, sehingga dengan percaya diri pemerintah daerah menjadikannya sebagai identitas kota Kebumen.




Kebumen, kota Walet

Sekalipun kota kecil, Kebumen beruntung berada di posisi pantai selatan dan diapit oleh sebuah bukit di utara kota. Sehingga kebumen sendiri menyimpan sejumlah tempat menarik untuk dikunjungi. Saat pulang dari Dieng melewati perbatasan Wonosobo-Kebumen, saya melewati sebuah waduk bernama Waduk Wadaslintang. Meskipun tidak sempat mampir, tetapi melihat sepintas waduk Wadaslintang di penghujung senja menjadi panorama yang cukup menarik.

Begitupun saat Election Day kemarin. Saat mengunjungi Kebumen, kami menyempatkan diri mampir ke Pantai Bocor. Pantai ini berpasir hitam. Dan bagi sebagian orang mungkin pemandangannya kurang menarik. Tapi bagi saya pantai ini memiliki pesona sendiri. Apalagi saat itu hari mulai senja. Not bad, lah!



Senja di Pantai Bocor

Tapi tenang saja, katanya di pantai sebelah barat ada sebuah pantai yang lebih menarik, namanya pantai Menganti. Memang lebih jauh, tapi pasirnya putih dan pemandangannya lebih indah. Saya jadi penasaran, karena kami tidak sempat mengunjungi Pantai Menganti kemarin. Mungkin di lain waktu, lah!
***

Mengapa postingan ini diberi judul Long Road to Kebumen? Entah mengapa, setiap kali melakukan perjalanan ke Kebumen, selalu saja dihadapkan dengan berbagai pengalaman, yang seolah menjadikan perjalanan singkat ke Kebumen menjadi lebih panjang.

Saat Valentine Day, saya dan 7 teman saya (Mas Re, Mas Jo, Mas Pras, Zulfan, Koplak, Wana, dan Iqbal) melakukan perjalanan dari Wonosobo menuju Kebumen melalui jalur alternatif. Antara Wonosobo dan Kebumen dibatasi oleh dua bukit dan dihubungkan dengan jalan yang panjang dan penuh tikungan. Kata Iqbal, ini termasuk salah satu jalur yang berbahaya. Tanpa diberitahu pun saya sudah menyadarinya. Karena setiap Koplak (saya berboncengan dengan Koplak) menikung sambil ngebut dengan posisi miring, muka saya langsung pucat sambil bilang ke Koplak untuk mengurangi kecepatan.

Saat melewati sebuah tikungan, kami berdua dihadapkan pada dua cewek SMA yang ingin menyebrang dengan motornya. Koplak yang berkendara dengan kecepatan tinggi segera membunyikan klakson dengan harapan mereka menyingkir. Yang ada, mereka berdua malah terdiam. Tentu saja daripada menabrak mereka, Koplak memilih cara yang lebih ksatria, yaitu menghindar jatuh.

Kejadiannya begitu cepat. Hingga tanpa sadar saya sudah jatuh terguling. Karena saya orang yang sangat egois, saat tersadar saya langsung tertatih-tatih menuju ke pinggir jalan tanpa mempedulikan Koplak dan motornya. Saya langsung duduk di bangku panjang sebuah warung. Saya shock. Saya hanya duduk terbengong sambil melihat sebuah drama, di mana orang-orang berlarian menuju ke motor Koplak, sementara Koplak sendiri mengamuk ke kedua cewek SMA tersebut. Ah, saya belum pernah melihat Koplak mengamuk. Saya terus terbengong. Mengapa di hari kasih sayang ini saya dan Koplak harus terjatuh?


Saya - saat - shock!

Untunglah segalanya segera terselesaikan. Mas Jo, Mas Pras, Mas Re, dan Iqbal segera menolong. Selanjutnya kami berubah formasi. Saya yang kini dibonceng Iqbal pun masih tetap shock. Yang diwujudkan dengan tangan saya yang memeluk perut Iqbal sepanjang perjalanan. Najis, dah!
***

Sebaliknya, saat Election Day, perjalanan terasa panjang justru dalam perjalanan meninggalkan Kebumen menuju Jogjakarta. Kami (Mas Jo, Mas Pras, Mas Aul, Mas Dino, Mas Hendra, Mbak Dini, Mbak Indah, Resha, Zulfan, Dini, Wana, dan saya) meninggalkan Kebumen pukul 8 malam, dan dengan kecepatan tinggi, kami berharap dapat sampai di Jogja sebelum jam 12 malam.

Tapi yang namanya musibah, siapa yang tahu? Di tengah perjalanan, Saya (berboncengan dengan Wana) dikagetkan dengan suara berdecit keras di belakang saya yang disusul dengan bunyi jatuh. Secara reflek Wana memarkir kendaraannya ke keri jalan. Kami berdua berlari ke arah kejadian. Mas Pras dan Mas Dino sepertinya terjatuh. Belum sampai kami ke tempat tujuan, sebuah motor tergelincir dan terguling keras. Nah, lho! Itu Zulfan dan Dini!

Ah, lagi-lagi saya shock dan melihat sebuah drama. Wana terlihat berbaur dengan masyarakat yang berusaha menolong mereka berempat. Zulfan terlihat tersungkur di jalan. Mas Pras dan Mas Dino entah bagaimana, sepertinya mereka bisa bertahan. Tapi saya melihat Dini berdiri gemetar dengan pandangan kosong seolah tak percaya apa yang terjadi. Lagi-lagi saya terbengong, mengapa di hari pemilihan umum ini empat orang teman saya harus tergelincir tumpahan oli?


Percaya atau tidak, saya tidak membantu apa-apa. Hanya membangunkan motor Dini dan membawanya ke pinggir, keempat teman saya tersebut segera dibawa ke rumah penduduk terdekat, sementara saya kembali ke motor Wana yang ditinggal dan membawa motor tersebut ke rumah tadi.

Dalam satu jam kami berusaha meredakan suasana. Mas Pras, Mas Dino, dan Zulfan dirawat di teras rumah penduduk. Sementara Dini sempat menangis dan sempat dirawat oleh Mbak Dini. Tapi setelah meluapkan emosinya, Dini dan yang lain bisa tertawa-tawa. Saya jadi malu, lha mereka yang jatuh kok malah saya yang shock?

***

Sejak saat itu saya beberapa kali merenugi perjalanan-perjalanan panjang ini. Ah, siapa juga yang bilang perjalanan yang menyenangkan tidak membutuhkan resiko? Kita memang berusaha meminimalkan resiko yang akan terjadi. Tapi kalau tangan Tuhan ikut campur, kita bisa apa? Satu hal yang patut dicatat, resiko tersebut hanyalah sebuah harga bayar dari sebuah pengalaman baru yang tak ternilai harganya. Percaya, deh!

Perjalanan memang terasa lebih panjang. Tapi pertemanan jadi kian dekat. Tak ada yang lebih mengharukan saat teman sendiri setia menemani dan menolong saat kita terkena musibah. Statemen yang sangat lebay, tapi saya sendiri sempat merasakannya.

Entah mengapa dari kejadian yang saya alami, saya membuat sebuah kesimpulan sendiri. Sebuah resiko terkadang memang begitu menyakitkan di saat kita mengalaminya. Namun seiring mengeringnya luka, resiko tersebut akan menjadi sebuah pelajaran di kemudian hari, yang bisa kita ceritakan kepada teman-teman, bahkan anak cucu kita nanti.

Semoga saja renungan ini membuat saya lebih dewasa dan tidak gampang shock lagi, hehehe...
Meskipun postingan ini banyak memuat cerita tentang musibah, dengan rasa hormat, satu kalipun saya tidak bermaksud menyudutkan kota Kebumen. Hanya saja secara kebetulan semua kejadian ini terkait saat melakukan perjalanan menuju kota tersebut. Kapok? Sama sekali tidak! Bahkan jika saya diajak ke kota Kebumen lagi, saya tidak akan ragu untuk menyetujuinya. Karena saya tahu,kota Kebumen akan menyambut saya dengan manisnya sate Ambal, yang dipadu dengan gurihnya Kecap Kentjana, yang membuat saya selalu dan selalu ingin kembali ke sana.

____________________________________________________________________

8 komentar:

IQBAL KAUTSAR mengatakan...

wah nafan
ceritamu bagus juga

trus sebagai warga kebumen
saya berterima kasih telah memperkenalkan potensi2 kebumen
kmu g usah ngrasa sedih jika perjalanan ke kebumen identik dengan bencana
tetp selalu kutunggu klo ke kebumen lagi

kpan ke kebumen lagi?

Journal Kinchan mengatakan...

waah bagus mas navan
aku ikut larut dalam kejadian2 yang mas navan tulis.
salut..

eniwe, mang mas koplak ngamuk kayak apa ya? jangan2 sebadan lemak geter semua? hahaha..

jangan shock lama2 mas navan.. masih banyak kota yang belum dijelajahi lo..
tentu perjalanan harus lebih hati-hati :D

Sasmita Dini mengatakan...

hehe, seharusnya ada foto(atau video) dua makhluk yang joged joged dan nyanyi Ridho Roma Menunggumu di Pantai Bocor..mana??

Unknown mengatakan...

Kurang satu musibah lagi Van!? Dan kyakanya ini "mengganjili" musiabh yang ada...

"Taufik! Jatuh pada saat menyambut teman2 Jogja"

Lengkap sudah penderitaan di Kebumen...

Kalau saya disuruh ke Kebumen lagi...mikir2...bukan karena musibahnya tapi karena udah pernah ke sna, so cari tempat lain dung

Nice post!

Ayos Purwoaji mengatakan...

hahaha mampusss, ikut ngilu mbacanya... dasar nabun...

Navan mengatakan...

@ Iqbal
kapan ke kebumen lagi? gag tau, hehehe...

@ Kinkin
koplak ngamuk dia ngomong gini," wooiii! hati2 kalo nyebgrang!!!! raing, kek!!!"

@ Dini
Itu tabu.

@ Mas Aul
sayangnya saya gag liat topik jatoh...

@ mas ayos
Jahat!

pras mengatakan...

eh navan masih ingat kalo kamu trauma
he..he

Gang5aL oWn mengatakan...

emang aselinya mana massss???

makanan khas lain kota kebumen juga banyak mas, ada lanthing bumbu, kue satu, sale pisang, jipang kacang, dll.

untuk wisata pantai sebelum menganti ada pantai suwuk dan karang bolong.
gak kalah indah dengan menganti...

ditunggu kabar selanjutnya mas kalo ke kebumen...